Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang tidak hanya melukai tubuh korban, tetapi juga menghancurkan jiwa, harga diri, dan masa depan mereka. Di Provinsi Banten, fenomena ini bukan sekadar angka statistik, tetapi realitas yang menghantui banyak perempuan dan anak-anak. Data terbaru menunjukkan lonjakan kasus kekerasan seksual yang signifikan, mengindikasikan bahwa isu ini belum ditangani secara efektif.
Pada tahun 2024, Kabupaten Serang mencatat 173 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkat drastis dari 86 kasus pada tahun sebelumnya. Sebagian besar kasus ini melibatkan kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur. Di Kabupaten Lebak, angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan serta anak juga cukup tinggi, mencapai 134 kasus dalam satu tahun. Sementara itu, laporan dari Polres Serang menunjukkan bahwa 52 anak menjadi korban kekerasan seksual selama tahun 2024 (Radar Banten, 2024).
Kondisi ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual di Banten bukan hanya fenomena insidental, tetapi sudah menjadi persoalan sistemik yang membutuhkan intervensi serius. Ketimpangan gender yang masih mengakar menjadi salah satu penyebab utama maraknya kekerasan seksual di daerah ini.
Kekerasan seksual tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia tumbuh subur dalam masyarakat yang masih menganut budaya patriarki, di mana perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinat. Norma sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus menjaga kehormatan keluarga justru sering kali berbalik menyalahkan korban ketika mereka mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
Stigma terhadap korban kekerasan seksual di Banten masih sangat kuat. Banyak korban enggan melapor karena takut disalahkan atau tidak mendapatkan keadilan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban dipaksa menikahi pelaku dengan dalih menjaga kehormatan keluarga. Padahal, pernikahan seperti ini justru memperpanjang siklus kekerasan dan trauma bagi korban.
Menurut Komnas Perempuan, faktor ekonomi juga menjadi penghambat bagi korban dalam mencari keadilan. Banyak korban berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi, sehingga sulit untuk mengakses layanan hukum, rehabilitasi, atau perlindungan yang memadai. Ini memperparah situasi, membuat para pelaku kekerasan merasa tidak takut terhadap hukum.
Pemerintah Provinsi Banten sebenarnya telah berupaya menanggulangi masalah ini melalui berbagai kebijakan, seperti pendirian Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), serta koordinasi dengan lembaga hukum untuk menindak pelaku kekerasan seksual.
Namun, efektivitas kebijakan ini masih jauh dari harapan. Beberapa tantangan utama dalam implementasi kebijakan perlindungan perempuan dan anak di Banten meliputi:
* Kurangnya anggaran dan infrastruktur. Banyak korban kesulitan mendapatkan bantuan hukum dan rehabilitasi karena kurangnya anggaran untuk layanan pendampingan korban. Rumah aman untuk korban kekerasan seksual juga masih terbatas jumlahnya.
* Lemahnya penegakan hukum. Banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan impunitas atau hukuman ringan bagi pelaku. Beberapa korban bahkan menghadapi kriminalisasi ketika berusaha melaporkan kasus mereka.