Dewan Pengawas dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja usai dilantik. Yang melantiknya Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.Â
Bermula dari merevisi beberapa pasal Undang-undang KPK, maka muncul adanya posisi Dewas Kpk tersebut. Kontroversial memang, namun itu keputusan yang dibuat penguasa di tanah air untuk memberantas korupsi yang sudah dianggap sebagai penyakit stadium empat alias sudah kritis.
Beberapa nama sudah dikantongi Jokowi untuk menempati posisi Dewas KPK tersebut. Salah satunya Artidjo Alkostas. Tercatat di riwayat hidup karirnya pernah menjadi Hakim Agung.Â
Beberapa kasus diputus vonis berat oleh Aritdjo. Angelena Sondak dari empat tahun ditambah menjadi 12 tahun penjara. Serta vonis 10 bulan kepada dokter Ayu untuk kasus malapraktik.
Argument perdebatan saat Undang-undang KPK direvisi disebabkan beberapa indikasi di mata para dewan yang terhormat, DPR RI di Senayan. Di antaranya ada tindakan abuse of power pada tubuh organisasi KPK. Terlebih naiknya berita soal kasus penyadapan untuk kepentingan politik jelang Pemilu serentak lalu. Ideologi bernegara dan lain sebagainya.
Di sini saya melihat, zona hukum bisa sesaat berubah jika kaum para Asal Bapak Senang (ASB) merasa tersudutkan. Penguasa dengan mudah mengotak-atik supremasi hukum sesuai dengan kemauan junjungan nya mencapai titik zona aman dan nyaman para koalisi. Ups, maaf, ini hanya pandangan subjektif rakyat biasa saja. Jangan kebawa perasaan lah.
Selain nama Artidjo Alkostas, terdapat beberapa nama yang sudah resmi menjabat. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sekaligus eks Hakim MK, Harjono, peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris; Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, Albertina Ho; dan mantan Wakil Ketua KPK jilid I, Tumpak Hatorangan Panggabean. Sesuai dengan UU KPK yang baru, UU 19/2019, Ketua dan Anggota Dewan Pengawas, untuk pertama kalinya ditunjuk oleh Presiden. Untuk periode berikutnya Presiden membentuk pansel untuk memilih Dewan Pengawas KPK.
Setelah ditelusuri, rupanya yang mengusulkan merevisi Undang-undang KPK tersebut disiasati oleh mantan Ketua KPK, Antasari Ashar. Mantan napi kasus pembunuhan. Berlindung di balik badan calon pasangan nomor urut 01 saat pemilu presiden lalu. Nama lainya, terdapat nama guru besar Unpad, Prof Romli Atmasasmita.Â
Tak lain ikut dalam kaum ASB yang saya sebut di atas tadi. Ya, begitu lah jika orang hebat yang bermasalah, berlindung di balik badan penguasa. Jika pimpinan KPK dan Dewas pilihan Presiden tak becus dalam bekerja, tentu 4 tahun ke depan suatu masa yang paling suram untuk memberantas penyakit korupsi di tanah air.