Myanmar dan Indonesia merupakan sesama anggota negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nation (ASEAN). Kedua negara ini memiliki kesamaan pada keragaman etnisnya. Tercatat pada Undang-Undang (UU) Myanmar memiliki hampir 135 etnis, diantaranya yaitu; Kachin, Kare, Karenni, Chin, Burmese, Arakan, Shan, Mon, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, terdapat satu etnis yang telah lama tinggal di Myanmar yang tidak diakui oleh pemerintah Myanmar yaitu etnis muslim Rohingya. Selain memiliki kesamaan, tentu setiap negara memiliki keunikan dan perbedaannya sendiri. Seperti pada Myanmar dengan Indonesia yang memiliki perbedaan pada sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan Myanmar sekarang dipimpin oleh junta militer, sedangkan Indonesia berprinsip pada demokrasi yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh rakyat. Kebijakan luar negeri sebuah negara salah satunya ditentukan dari bagaimana sistem pemerintahan negara tersebut.
Kebijakan Luar Negeri Myanmar
Sistem pemerintahan Myanmar yang dipegang oleh junta militer menganut sistem isolasionis mengenai kerjasama dengan negara lain dan berpegang teguh pada kemandirian negara dalam menyelesaikan konflik maupun pada kemandirian perekonomiannya. Pemerintah Myanmar menganut kebijakan isolasionis ini juga dikarenakan ingin mengurangi pengaruh negara lain terhadap politik domestik di Myanmar dan meminimalisir pengaruh dari pihak asing.
Myanmar sangat berpegang teguh pada prinsip non-intervensi. Terutama ASEAN juga telah mengadopsi prinsip non-intervensi ini pada ASEAN Way. Kebijakan luar negeri Myanmar yang bersifat isolasionis membuat pemerintah Myanmar sangat menolak intervensi negara luar terhadap politik domestiknya, terutama mengenai konflik Rohingya. Myanmar akan sangat bersikap keras kepada negara yang ingin mencampuri urusan politik domestiknya dan siapapun yang dianggap sebagai oposisi pemerintah Myanmar.
Secara historis, kebijakan luar negeri Myanmar telah berubah sebagai respons terhadap kekuatan politik eksternal dan domestik. Di bawah kendali militer, terutama setelah kudeta 1962.
Namun, ketika Myanmar memulai transisi ke pemerintahan yang lebih demokratis pada tahun 2010-an, di bawah kepemimpinan National League for Democracy (NLD), Aung San Suu Kyi, ada periode singkat perbaikan hubungan. Meningkatnya investasi internasional dan pelonggaran beberapa sanksi merupakan ciri khas dari periode ini.
Namun, pengambilalihan militer pada tahun 2021 membatalkan banyak keuntungan diplomatik dan kebijakan luar negeri Myanmar, yang memicu kecaman dan sanksi internasional. Pemerintahan Aung San Suu Kyi yang dipilih secara demokratis digulingkan oleh kudeta militer pada Februari 2021, yang merupakan titik balik utama dalam kebijakan luar negeri Myanmar.
Sementara kudeta tersebut memicu kecaman internasional dan sanksi tambahan dari negara-negara Barat, kudeta tersebut juga memicu kembali protes kekerasan dan pembangkangan sipil di dalam negeri.
Kepentingan negara-negara tetangga yang kuat seperti China dan India sering mempengaruhi kebijakan luar negeri negara tersebut, dan secara umum negara tersebut memiliki interaksi yang antagonistik dengan Barat dan organisasi internasional, terutama setelah pengambilalihan militer pada tahun 2021.