Oleh: Ade Imam Julipar
20-11-17
Â
Waktu SMP saya senang membaca Lupus. Ada beberapa judul yang sempat dibaca. Novel karangan Hilman Hariwijaya ini begitu ngetop di era 80-an akhir. Ceritanya  pun beragam. Tentang persahabatan, percintaan, Keluarga, dan lain-lain. Itu semua ditulis dengan gaya konyol dan gaul, mengikuti trend waktu itu. Bahkan novel ini diangkat ke Layar lebar dengan pemeran utamanya Ryan Hidayat almarhum.
Mungkin --meminjam istilah kekinian-- Â 'kids zaman now' tidak tahu tentang Lupus dan segala kekonyolannya. Tapi di zaman saya SMP , Lupus menjadi ikonik pergaulan anak muda. Â Dengan ciri khas rambut berjambul di depan, dan tak ketinggalan selalu mengunyah permen karet. Tidak sedikit teman-teman saya yang mengikuti gayanya. Baik dari jambul di depan kepala maupun mengunyah permen karet. Benar sekali kata ibu saya bahwa: Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya.
Pola pergaulan kami pun mengadopsi dari novel Lupus. Bagaimana mereka berteman, menjahili orang, pacaran, memperlakukan orang tua, atau juga berhubungan dengan saudara . Zaman Lupus adalah zaman dimana proses identifikasi eksternal kawan saya semasa terjadi . Ada hasrat kuat untuk meniru gaya Lupus. Meniru secara total.
Dalam telaah kejijwaan, definisi  identifikasi adalah kecenderungan seseorang untuk bertingkah laku menyerupai orang lain  atau tokoh idola. Proses ini bisa terjadi secara sadar maupun tak sadar.
Ada sisi positif dan negatif ketika proses identifikasi ini berlangsung. Sisi positifnya adalah apabila orang atau tokoh idola yang ingin kita tiru itu merupakan orang yang berada dalam jalan yang sama dengan jalan yang kita lalui untuk menuju cita-cita dalam hidup kita. Sehingga peng-identifikasi-an itu menjadi pendorong sekaligus pemantik semangat meraih yang kita inginkan.
Sedangkan sisi negatifnya adalah apabila orang atau tokoh idola yang akan kita tiru berbeda jalan dengan apa yang sedang kita tempuh. Sehingga itu bukannya menjadi pemantik, malah akan menjadi pengguyur kobaran api semangat berjuang kita.
Ya, Lupus, sedikit banyak, sudah menyumbang untuk standar-standar nilai sosial pada zaman saya. Nilai-nilai: semangat mengejar yang diinginkan, nilai persahabatan, nilai percintaan dan nilai kekeluargaan. Lupus juga yang mengantarkan saya ke dunia Literasi. Dunia baca tulis. Karena, waktu itu, saya sangat senang membacanya dan timbul keinginan untuk membuat novel seperti Lupus. Atau, paling tidak, membuat satu artikel atau tulisan konyol seperti itu.
Hasrat menjadi salah satu bagian di dalam dunia Literasi memang salah satu impian saya sejak lama. Saya sering memimpikan dunia literasi sebagai sebuah dunia yang sangat indah. Â Dunia dimana saya bisa menjadi salah satu warganya. Walaupun sekarang masih belum bisa dikatakan sebagai penggiat Literasi, paling tidak saya sudah berusaha mencoba menjadi warga dunia Literasi yang baik.