Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena "Fat Shaming" dan Kecurigaan Antar Kelompok

22 November 2016   14:04 Diperbarui: 22 November 2016   16:12 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.tugassekolah.com/

Eee dayohe teko, eee beberno kloso, eee klosone bedah, eee tambalen jadah, eee jadahe mambu, eee pakakno asu, eee asune mati, eee buang nang kali, eee kaline banjir, eee cantelno pager...

Terjemahan bebas tembang tersebut adalah: Eee ada tamu datang. Eee segera tikar digelar. Eee tikar (ternyata) bolong. Eee tikar ditambal jadah (jenis makanan). Eee jadah (makanan itu) busuk. Eee jadah busuk itu dijadikan makanan anjing. Eee anjing mati. Eee anjing dibuang ke sungai. Eee sungai banjir. Eee anjing mati diikat di pagar…

Nyanyian tembang Jawa ini tidak lekang dimakan zaman. Tembang dolanan masa kecil itu akan mengiringi perjalanan peradaban manusia. Secanggih dan se-ultra-modern apapun kemajuan perabadan yang kelak berhasil dicapai manusia. Bukan soal apakah manusia hidup di tengah kecanggihan arus teknologi komunikasi yang semakin gegirisi ataukah dibelenggu oleh naluri teknologi zaman batu—tembang dolanan itu sesungguhnya mementaskan kesembronoan manusia memimpin dirinya sendiri.

Menambal Masalah dengan Masalah

Mengapa sembrono? Manusia, kita semua ini, kerap menyelesaikan masalah dengan cara menambalnya dengan masalah baru. Langkah solusi yang diambil ternyata mengantarkan pada permasalahan baru yang lebih rumit dan kompleks. Demikian seterusnya—sehingga solusi yang diharapkan akan menyelesaikan masalah justru menghujani kita dengan persoalan demi persoalan baru yang semakin meluas dan mendalam.

Solusi yang diyakini hingga kini cukup ampuh menyelesaikan permasalahan adalah kritik. Di tengah kebebasan menyampaikan pendapat, kita kadang belum memiliki presisi, ketepatan, titis mata pandang, kesanggupan menempatkan muqtadlol-hal, misalnya antara menyampaikan kritik, saran, usul, pendapat, cacian, makian, marah, dan seterusnya.

Mental yang konotatif dalam berkomunikasi terutama di media sosial menciptakan iklim “eee dayohe teko”. Kenyataan apapun yang berseberangan dengan pendapat kita hanya ada satu cara untuk menyelesaikannya, yaitu dikritik. Kritik yang dimaksud tidak disajikan sebagai kerangka dan bangunan berpikir kritik bermakna denotatif, melainkan kritik bermakna konotatif yang tafsir, muatan, sikap, cara pandang terserah subjektifisme pengkritik.

Psikologi komunikasi pun terbelah—yang tampil dan saling berhadapan adalah aku atau kami pembela kebenaran melawan dia atau mereka pelanggar kebenaran. Fakta ini mohon tidak dipakai untuk memandang kasus Ahok saja. Persoalan lokal di lingkungan yang terbatas pun kerap dijumpai situasi psikologi komunikasi yang menyeret orang atau kelompok untuk saling berhadapan pada satu garis pertentangan.

Pihak yang disalahkan harus bertekuk lutut pada pihak yang merasa benar. Sedangkan pihak yang merasa benar dituntut oleh pihak yang disalahkan agar mengakui kesalahan. Orang Jawa mengatakan, kebenaran masing-masing itu dikategorikan sebagai benere dewe. Dalam skala kelompok atau jamaah dinamakan benere wong akeh. Lalu dimanakah bener kang sejati?

Persis dengan kisah klasik dua orang buta meraba gajah. Satu orang buta meyakini gajah itu menjulur panjang karena yang dia pegang adalah bagian belalai. Sedangkan kawannya menyatakan gajah itu gede karena yang dia rabai adalah bagian perut. Dua orang buta itu saling debat, saling kritik, salah-menyalahkan, saling serang dalam rangka sedang menyusun rencana akan menaklukkan sang gajah.

Fakta tentang gajah pun direduksi menjadi dua “madzhab pendangan”: madzhab belalai dan madzhab perut. Semua fakta tentang gajah menjadi benere wong akeh yang bermuara atau dimuarakan sebatas belalai dan perut. Kenyataan bahwa gajah adalah sebuah anatomi hewan yang utuh makin tertutup oleh egoisme benere wong akeh, yang diiklankan sebagai bener kang sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun