Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Evolusi Badut: Coulrophobia, Lelucon, hingga Penebar Teror

2 November 2016   12:12 Diperbarui: 2 November 2016   17:42 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.brilio.net/

Tata menangis ketakutan. Gadis mungil berusia empat tahun itu memeluk ibunya erat-erat. Berkali-kali ibunya meyakinkan Tata agar tidak takut kepada badut. Namun, Tata tidak mau berpaling. Ia membenamkan wajahnya di pelukan ibunya. Pagi itu acara hiburan di sebuah Taman Kanak-Kanak berakhir dengan rasa takut dan tegang di wajah Tata.

Tidak setiap anak suka badut. Tata salah satunya. Make-up dan kostum badut menjelma semacam hantu. Diyakinkan dengan cara apa pun badut adalah hantu yang nongol di siang hari. Saya tidak tahu persis apakah Tata mengalami coulrophobia, ketakutan irasional terhadap badut dikarenakan penampilan dandanan dan kostum yang mencolok dan berlebih-lebihan.

Fobia terhadap badut kini merebak seiring dengan hadirnya badut bukan sebagai penghibur, tapi penebar teror dan ancaman. Pada bulan Oktober lalu selama enam hari National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC) di Inggris menerima 120 panggilan telepon dari anak-anak yang ketakutan akibat fenomena killer clown ini. Anak-anak itu membutuhkan konseling untuk mengatasi ketakutan pada badut yang beralih fungsi. Batas antara lelucon dengan ancaman semakin tipis.

Pada 1970 sosok John Wayhe Gacy, Jr kerap melancarkan aksi kejahatan dengan memakai kostum badut. Pemerkosa dan pembunuh 33 remaja di Illinois itu adalah killer clown yang populer. Dijuluki killer clown karena dalam kehidupan sosial masyarakat, Gacy aktif di kegiatan-kegiatan sosial seperti penggalangan dana, parade, dan pesta anak-anak. Ia menggunakan kostum Pogo the Clown, karakter yang diciptakannya sendiri.

Di Kota Mexikali, Meksiko lima remaja berpakaian seperti badut ditahan polisi setelah mereka menakut-nakuti orang dengan memakai kostum kelelawar. Para pelaku kejahatan yang lain berpakaian badut dan melancarkan teror, menyebar dengan cepat melalui media sosial. Badut menjadi identik dengan ancaman dan ketakutan.

Ketakutan Tata dan anak yang mengalami coulrophobia terasa ‘wajar’ mengingat sosok manusia bersembunyi di balik dandanan dan kostum. Badut hadir tidak sebagaimana penampilan manusia normal. Berbeda dengan penampilan barongsai atau jaranan yang menampilkan bukan sosok manusia. Badut—berada di garis tipis antara manusia dan bukan manusia. Sosok yang tidak jelas identitasnya—apalagi perasaan dan pikirannya. Satu kata yang menjelaskan sosok badut: menyeramkan!

Mengutip National Geographicc,"Pada banyak hal, badut menggabungkan hal-hal aneh secara sempurna," kata Frank McAndrew, seorang psikolog sosial yang menerbitkan studi besar terkait kengerian terhadap badut. Ekspresi ambigu dari isi perasaan dan pikiran itu sendiri menjadikan badut dekat dengan konotasi kengerian. Distorsi make-up dan kostum—tebal dengan kaki yang sangat besar—membuat mereka tidak tampak lagi seperti manusia.

Distorsi penampilan menjadi tidak tampak seperti manusia ternyata menyeramkan. Dalam konteks yang lebih luas dan mendasar distorsi itu bukan sebatas pada ekspresi penampilan membadutkan diri. Distorsi itu kini malah menggejala pada perilaku sehari-hari yang rasanya sulit dicerna akal dan dipahami nurani. Badut-badut itu tidak perlu merias diri dengan make-up tebal dan kostum berlebihan. Produk perilaku yang terdistorsi dari harkat dan martabat manusia akan menyeret seseorang menjadi badut politik, badut agama, badut ekonomi, badut kepentingan pribadi. Bukankah kita kerap sembunyi di balik kepentingan egoisme—make-up dan kostum badut yang terdistorsi—dengan mengatasnamakan universalisme?

Seorang badut, pada akhirnya tidak selalu tampil layaknya badut. Penampilan terhormat dengan simbol yang disesuaikan dengan target audien benar-benar diperhitungkan, mulai dari pemilihan warna baju, corak, asesoris pendukung, hingga bahasa tubuh dan tekanan kata per kata. Seseorang yang membadut itu merasa tidak perlu menjadi diri yang otentik—ia cukup mengabdi pada parameter-parameter yang akan membawanya pada kesuksesan. Sukses? Parameter sukses para badut adalah kaya dan raya.

Apakah persoalan badut-membadut menjadi sederhana seperti itu, sekadar supaya menjadi kaya? Penjajahan harga diri dan martabat ini secara faktual terjadi saat seseorang atau publik atau bahkan bangsa memilih untuk menjadi badut menyeramkan yang tidak memiliki akar sejarah di negeri ini daripada memilih menjadi Semar, Bagong, Gareng, Petruk. Artinya, seseorang akan begitu gampang menjual diri untuk mencapai parameter-parameter kekayaan walau ia harus mengalami kehilangan bahkan kehancuran diri yang paling otentik dan mendasar.

Jika semua orang berlomba-lomba menjadi badut dengan orientasi parameter kekayaan menjadi yang utama, tidak heran apabila semakin banyak dari mereka kehilangan pijakan tentang kesejahteraan hidup. Badut memilih kaya, manusia memilih sejahtera. Badut mendongakkan kepala, menyombongkan diri, menyimpulkan kepada dirinya sendiri bahwa mereka memiliki kesadaran. Sedangkan kesadaran yang dimaksud adalah parameter-parameter tentang menjadi kaya dan raya itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun