Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Demam Pendidikan Finlandia dan Keunggulan Bangsa Sendiri

16 Juni 2016   01:04 Diperbarui: 16 Juni 2016   14:00 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kongres Taman Siswa | Sumber: amintamansiswa.wordpress.com

Beberapa tahun belakangan ini dunia mengalami demam pendidikan Finlandia. Para pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia tidak mau ketinggalan. Kajian, artikel, penelitian, regulasi yang mengangkat betapa indahnya prinsip-prinsip pendidikan Finlandia memukau dunia.

Buku yang ditulis Pasi Sahlberg, pakar pendidikan Finlandia dan internasional, yang berjudul “Finnish Lessons” laris manis. Seorang pengamat pendidikan belum lengkap pengamatan dan analisisnya jika belum membaca buku itu. Saya sendiri cukup beruntung. Satu tahun yang lalu seorang teman menghadiahi saya buku Finnish Lessons. Ia menyerahkan buku itu sambil berkata, “Baca! Ini baru pendidikan!”

Ungkapan, “Ini baru pendidikan” mengganggu pikiran saya. Sedemikian hebatkah prinsip dan sistem pendidikan di Finlandia? Demikian pikir saya waktu itu. Segala pujian yang dialamatkan kepada kehebatan pendidikan Finlandia, saya memutuskan untuk tidak percaya dan menerimanya begitu saja. Saya ingin membuka halaman pertama Finnish Lessons dengan pikiran 'kosong'.

Terlepas dari hasil kajian dan penilaian dunia atas kehebatan pendidikan di Finlandia, pikiran terdalam saya mengatakan bahwa setiap bangsa pasti memiliki keunggulan yang belum tentu dimiliki oleh bangsa lain. Demikian pula dengan keunggulan prinsip dan model pendidikan suatu bangsa: keunggulan itu tidak bisa dibandingkan atau dikompetisikan. Mempelajari, mengkaji, meneliti sistem pendidikan negara mana pun tujuannya adalah lita’arofu, saling mengenal, seraya menggali keunggulan bangsa sendiri yang sudah tertanam secara laten berpuluh-puluh tahun bahkan beradab-abad lamanya.

Finlandia sadar akan hal itu. Sistem pendidikannya tidak serta merta mengadopsi gagasan Gerakan Reformasi Pendidikan Global (Global Education Reform Movement, GERM). Finlandia terbuka dengan gagasan pendidikan global namun mereka tetap mempertahankan ciri Finlandia. Mereka bangsa yang sadar diri dan menyadari kapasitas keunggulan bangsanya.

Dalam hal ini saya sependapat dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan. “Konsep pendidikan Finlandia sesungguhnya sudah banyak dituliskan oleh Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia,” tutur Anies.

Dalam paparan “Gawat Darurat Pendidikan Indonesia”, Anies menyandingkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan prinsip pendidikan Finlandia. “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi.” (Pusara, Januari 1940).

Sistem pendidikan Finlandia menempatkan standarisasi pendidikan secara proporsional. Finlandia tidak menyelenggarakan proses belajar mengajar yang distandarkan. Padahal standarisasi ini menjadi unsur kunci GERM.

Gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara bukan hanya lugas: “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan…” –ia bahkan melesat melampaui zamannya. Dan hingga kini, saya menilai gagasan ini belum menjadi inspirasi dan motor penggerak pendidikan nasional. Kita masih berkutat di dalam perdebatan UN sebagai penentu kelulusan atau pemetaan.

Kita beramai-ramai menyelenggarakan wisata pendidikan ke Finlandia. Tidak salah dengan wisata itu. Semoga hal itu juga diikuti oleh kajian serius dan mendalam tentang pemikiran pendidikan tokoh bangsa kita sendiri.

Satu catatan yang layak kita perhatikan dan menjadi bahan renungan adalah mengapa kita merasa menjadi bangsa yang inferior di tengah persaingan dunia? Yang diadopsi dari bangsa lain seolah-olah lebih ampuh? Mengapa Muhammad Nasir mewacanakan akan merekrut orang asing menjadi rektor perguruan tinggi negeri (PTN)? Mengapa wacana yang bukan hanya akan kontraproduktif tetapi juga berpotensi melecehkan kemampuan anak bangsa, dilemparkan ke publik seolah-olah kita adalah bangsa yang baru kemarin sore lahir?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun