Mudik itu bahasa Jawanya Mudek. Artinya, terbang ke atas. Para pelaku mudik adalah mereka yang "terbang ke atas", menggapai Kasih Sayang Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Ini kesadaran pertama dan mendasar yang perlu dipahami bersama. Pertimbangan utamanya adalah kasih sayang. Welas asih. Dalam tataran kehidupan sosial kita mengenalnya sebagai silaturahmi. Menyambung kasih sayang. Yang disambung adalah Kasih Sayang yang dilimpahkan Tuhan kepada setiap manusia.
Mudik, dengan demikian, memuat dua dimensi: vertikal dan horizontal. Yang disambungkan adalah kasih sayang Tuhan sebagai kesadaran vertikal. Pelakunya adalah sesama manusia yang di hatinya tumbuh sikap saling menyayangi pada tataran sosial horizontal.
Keseimbangan seperti itu kalau bisa jangan sampai goyang, miring-miring apalagi hilang salah satu dimensinya. Kita tidak perlu mengulang kesalahan yang sama: virus Corona mewabah akibat ketidakseimbangan pengelolaan kehidupan yang diciptakan oleh manusia.
Persoalan kita selanjutnya, ternyata, bukan sekadar mengimbau atau melarang mudik. Pada momentum puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri siapa yang tidak terbayang kampung halaman?Â
Psikososial warga masyarakat yang "mewabah" menjelang momen sakral juga perlu diperhitungkan. Justru inilah tantangan yang dihadapi, bukan saja oleh pimpinan daerah melainkan juga para pelaku mudik.
Beberapa daerah sudah membatalkan acara Mudik Bersama. Namun, hal itu bukan jaminan mudik "ilegal" tidak berlangsung. Masyarakat kita memiliki karakter ubed, utun, ulet dan pantang menyerah. Akal cerdiknya berlipat-lipat untuk menyiasati screening petugas di perbatasan kota.
Fakta seperti itu merupakan berita gembira sekaligus kabar sedih. Berita gembira, karena sesungguhnya bangsa Indonesia memiliki ketangguhan untuk bertahan hidup yang luar biasa di tengah kondisi yang paling menekan dan menyengsarakan sekalipun.
Kabar sedih, karena ketangguhan itu digunakan untuk menerjang badai Corona yang tengah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia. Pada konteks ini mudik ke kampung halaman adalah nikmat membawa sengsara.
Peristiwa silaturahmi akan berubah menjadi "silatulvirus", menyambung tali penyebaran virus. Kasih sayang berbalik menjadi musibah. Tawa menjadi tangis.
Namun, apakah sebagian masyarakat juga menyadari ancaman itu? Belum tentu. Faktanya, ribuan rombongan "mencuri start" mudik lebih awal. Alasan mereka juga logis: daripada tidak bisa makan di Jakarta lebih baik pulang kampung saja.