Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Teriakan "Merdeka!" Anak-anak Itu Mengiris Hati

17 Agustus 2019   01:46 Diperbarui: 17 Agustus 2019   05:31 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak yang bersahabat. (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Bangsa Indonesia sudah merdeka. Namun, apakah siswa Indonesia telah mengalami kemerdekaan melalui pendidikan yang membebaskan?

Faktanya, sistem pendidikan nasional masih membelenggu keberagaman talenta siswa dan melindungi kebebasan akademik. 

Menurut Satryo Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Indonesia mengalami "masifikasi pendidikan". Ini berita yang menggembirakan sekaligus memprihatinkan.

Di tengah "masifikasi pendidikan", sistem pendidikan masih memprioritaskan perbaikan manajemen sekolah dan meningkatkan kesejahteraan guru. Kebutuhan mendasar siswa sebagai individu yang dianugerahi talenta terbengkalai.

Manusia yang memiliki talenta yang unik dan khas dijajah oleh regulasi pendidikan. Standar akademik yang kerap dijadikan acuan prioritas, pelan namun pasti, mengikis kepribadian otentik siswa. 

Tidak heran, institusi pendidikan tak ubahnya pabrik. Output-nya seragam dan terstandarisasi. Outcome lulusan pun diukur seperti produk hasil olahan pabrik.

Umpama keberagaman potensi seorang siswa diserupakan "ayam", "ikan", "burung", pola pendidikan kita mengacu pada satu standar, yakni "harimau". Para siswa belajar di dalam ruang kelas agar menjadi "harimau". Mereka dididik menjadi "harimau", menggunakan "kurikulum harimau", dinilai secara "harimau".

Akibatnya, potensi mereka sebagai ayam, ikan, burung tidak optimal. Sedangkan jadi harimau pun mereka gagal, sebab mereka memang bukan harimau.

Foto: jadiberita.com
Foto: jadiberita.com
Lebih jauh, yang disebut sukses, berhasil, berprestasi adalah berhasil menjadi Raja Hutan. Para ayam, ikan dan burung frustrasi. Bagaimana tidak? Ketika ayam, burung, ikan berhasil menjadi Raja Kebun, Raja Sungai, Raja Udara, hal ini bukan prestasi. 

Yang diakui sebagai prestasi adalah ketika semua hewan sukses jadi Raja Hutan. Raja yang menguasai simpul-simpul kekuasan dan kekuatan ekonomi demi menambah deposito kekayaan pribadi.

Begitulah nasib perjalanan hidup siswa saat menempuh pendidikan yang dimotori budaya standarisasi. Personalisasi pendidikan bagaikan pungguk merindukan bulan. Pada akhirnya siswa tidak kenal siapa dirinya, tidak paham apa bakat dan talentanya, tidak mengerti keunikan khas dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun