Para nabi dan rasul mencontohkan pola hidup “cukup” bahkan “kurang”. Pola hidup di bawah kecukupan. Saya mencoba membuat tangga pola hidup: kurang, cukup, lebih, eksesif. Pada gaya eksesif itu hidup saya berpijak. Artinya, saya perlu menekan, melatih, mengajak, memaksa nafsu untuk turun tingkat menuju “cukup” atau bila saya kuat menjalaninya bisa mencapai “kurang.”
Apa lantas kita harus jatuh menjadi orang miskin? Saya pikir, ini bukan untuk mengajak kita menjadi orang miskin atau kaya. Menuju tangga hidup “kurang” tidak hanya berkaitan dengan kesanggupan mengerem atau mengontrol pengeluaran. Kita sedang ditantang agar berani mencukupkan kebutuhan kita. Tantangan yang sedang dilatih oleh aktivitas puasa.
Bukankah saat berbuka puasa, seteguk air putih dan tiga butir kurma, sudah cukup sebagai menu untuk membatalkan puasa? Sementara nafsu eksesif mendikte agar kita memenuhi meja makan dengan aneka masakan dan panganan yang mustahil semuanya diusung ke dalam perut?
Ternyata, sikap hidup “kurang” tidak mengurangi jatah rezeki apa pun yang sudah kita peroleh. Bahkan di tangga “kurang” ini pendapatan dan penghasilan kita menjadi lebih.
Warga dusun yang saya ceritakan di atas menempati tangga “kurang” atau “cukup”, sehingga mereka memiliki kelebihan materi, yang didermakan kepada sesama termasuk saya. Dalam hal ini tingkat kesadaran rasa kaya dan keberlimpahan saya jauh di bawah mereka. Mereka bukan hanya memiliki lebihan pendapatan atau kekayaan: lebihan pendapatan itu pun bermakna bagi orang lain.
Warga dusun itu bersikap ramah kepada siapa saja karena di dalam batin mereka merasakan kelegaan, pencerahan, semacam rasa terang (enlightment) karena ikhlas dan istikamah memberi. []
Jagalan 01 07 16