"Kumpul ora ngumpul waton mangan."Â
Secara harfiah, peribahasa Jawa di muka dimaknai "kumpul tak kumpul asal makan". Menurut pemahaman penulis, peribahasa Jawa tersebut mengandung pengertian bahwa makan yang merupakan kebutuhan utama bagi setiap orang untuk melangsungkan hidup tersebut harus dilakukan baik ketika tidak atau sedang berkumpul dengan keluarga, pacar, atau kerabat.
Dalam konteks bahasan, makan bisa dimaknai dengan berbuka atau saur. Bila ditarik dalam konteks peribahasa Jawa tersebut, berbuka khususnya dapat dilakukan secara personal maupun kolektif. Karenanya baik berbuka sendiri maupun berbuka bersama (bukber) bukan persoalan sah atau tidaknya suatu ibadah, melainkan persoalan nikmat atau lebih nikmatnya ketika berbuka.
Banyak orang bilang bahwa berbuka bersama keluarga, pacar, atau khususnya kerabat lebih nikmat ketimbang berbuka sendiri. Kenikmatan itu muncul, karena selain dorongan rasa dahaga dan lapar sesudah sehari berpuasa, kelahapan orang lain ketika makan merupakan dorongan tersendiri untuk meningkatkan gairah (selera) berbuka.
Fakta yang mencerminkan spirit kebersamaan ini yang melatarbelakangi munculnya tradisi bukber. Maka tidak heran kalau sebelum tanda buka berkumandang, banyak kelompok orang dalam bingkai kekerabatan berkumpul di rumah pribadi, warung makan, atau restoran untuk menikmati bukber.
Memang diakui bahwa tradisi bukber niscaya menyerupai jamur di musim Ramadhan. Sungguhpun begitu, tradisi tersebut perlu dilakukan karena besar manfaatnya. Adapun manfaat bukber, menurut hemat penulis, sebagai berikut: Pertama, bukber semakin dapat mengeratkan rasa kebersamaan dan kekerabatan. Sehingga bukber, dalam istilah Jawa, berpotensi untuk ngumpulke balung pisah (mengeratkan kembali kekerabatan yang mulai retak).
Kedua, bukber mengajarkan bagi pengundang untuk merealisasikan amalan berderma kepada orang lain. Sungguhpun menu bukber tidak seistimewa menu pesta di hotel bintang lima, namun nilai ajarannya sangat bermanfaat bagi pengundang. Di mana, merealisasikan amalan berderma lebih besar nilainya ketimbang berkotbah tentang derma namun tidak pernah mengamalkannya.
Ketiga, bagi pengundang akan mendapat pahala dari Allah selama bukber yang diselenggarakan tidak bertujuan untuk pamer atau bertendensi politis. Ketika pengundang berniat tulus, rezeki akan dilimpahkan kepadanya. Sebab rezeki yang dibagikan kepada orang lain secara ikhlas, sejatinya tidak terbuang sia-sia, melainkan membuka pintu rezeki dari Allah yang lebih besar.
Berakhir ditandaskan bahwa tradisi bukber dengan kerabat merupakan salah satu ciri masyarakat timur yang cenderung mengutamakan spirit kebersamaan. Bukan mengutamakan kepentingan personal atau ego di atas kepentingan kolektif. Persepsi inilah yang harus dipahami ketika menangkap realitas semakin merebaknya tradisi bukber di lingkup masyarakat. [Sri Wintala Achmad]