Sejak berusia kanak, saya tidak pernah berpikir menjadi penulis, terutama karya sastra, sebagaimana sekarang. Semasih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) Negeri Balecatur, saya lebih tertarik dengan seni lukis. Kemudian saya tinggalkan seni lukis sesudah berkenalan dengan pelajaran ekstrakurikuler teater asuhan Heru Siswanto di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Balecatur.
Waktu itu, saya berpikir bahwa ketertarikan saya dengan teater dimungkinkan darah kesenian Ayah "Amat Dinama" di bidang teater tradisional emprak "Langen Ambiya" yang mengalir di dalam jiwa dan raga saya. Tetapi, itu hanya pikiran naif dari seorang bocah yang belum tumbuh dewasa.
Ketertarikan saya untuk mempelajari teater terus berlanjut sewaktu terdaftar sebagai siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) II Yogyakarta. Di sekolah yang berada di naungan Departemen Agama itu, saya mendapat bimbingan teater dari Poel Syaibani. Guru ekstrakurikuler teater yang sangat familiar, tegas, dan selalu mengajarkan kedisiplinan pada setiap anak didik.
Bermula dari teater, saya selalu menjadi duta sekolah untuk mengkuti lomba baca puisi baik yang diselenggarakan oleh sekolah lain maupun kampus. Dengan seringnya mempelajari puisi dari bebeberapa penyair kondang Indonesia, semisal: WS. Rendra, Chairil Anwar, Piek Ardiyanto Masardi, Sapardi Djoko Damono, Subagya Sastra Wardaya, dll yang akan dijadikan materi lomba; saya mulai tertarik dengan puisi. Bukan sebatas membaca, melainkan menulis puisi gubahan sendiri.
Puisi Radio
Menulis puisi telah menjadi aktivitas rutin saya semenjak duduk di bangku kelas 2 MAN II Yogyakarta (1984). Dari seringnya menulis puisi, timbullah kesadaran saya untuk mempublikasikannya di media massa. Untuk itu, saya mengirimkan puisi ke koran dan majalah. Berulangkali puisi saya kirimkan, berulangkali koran dan majalah tidak memuatnya. Â
Berpijak pada fakta di muka, saya berpikir keras untuk mendapatkan media alternatif yang bersedia mempublikasikan puisi saya. Karena waktu itu banyak radio swasta di Yogyakarta, semisal: Retjo Buntung, Angkatan Muda, Arma Sebelas, Persatuan Bantul, Bikima, dan Rasialima menyiarkan acara baca puisi, maka saya mencoba untuk mengirimkan puisi-puisi saya ke salah satu radio.Â
Hasilnya positif. Beberapa puisi saya yang lolos seleksi dibacakan (diudarakan/dipublikasikan) untuk pertama kalinya oleh Grill. Seorang pengasuh acara pembacaan puisi di radio Angkatan Muda.
Kurang puas saat puisi dibacakan oleh orang lain, maka saya berusaha untuk membacakan puisi sendiri lewat radio. Karenanya sepulang dari sekolah yang terletak di Ngampilan, saya harus berjalan kaki menuju Radio Retjobuntung di wilayah Jagalan. Mengikuti rekaman baca puisi sebelum disiarkan dalam acara Lembar Sastra dan Budaya asuhan Esti Pritt.Â
Hasilnya lebih memuaskan. Karena selain dapat mempelajari sejauh mana capaian kualitas puisi yang saya tulis, saya dapat mengetahui sejauh mana kualitas saya dalam membacakannya. Melalui Radio Retjobuntung itulah, saya dapat belajar secara otodidak tentang puisi.
Selain Radio Retjobuntung, saya mempublikasikan puisi melalui Radio Rasialima. Di bawah asuhan Bambang Sareh Atmadja (Bambang Sutejo), saya tidak hanya membacakan puisi-puisi karya sendiri, namun pula turut mengasuh acara Cakrawala Puisi dan Apresiasi. Berkat acara tersebut, Radio Rasialima yang bekerjasama dengan Kartapustaka kemudian menerbitkan Antolologi Puisi "Pelangi".Â