MPU Tanakung merupakan pujangga yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja Majapahit ke-4 yang memerintah pada 1350-1389. Selain menggubah Kakawin Banawa Sekar yang melukiskan upacara Srada, Mpu Tanakung menggubah Kakawin Lubdhaka dan Kakawin Wrttasancaya. Dua karya sastra yang mengandung ajaran-ajaran kearifan.
Kakawin Lubdhaka
KAKAWIN Â Lubdhaka yang dikenal pula dengan Kakawin Siwaratrikalpa digubah oleh Mpu Tanakung pada medio abad 15 di bawah lindungan Sri Adisuraprabhawa. Keunikan karya sastra ini terletak pada tokoh utamanya yang merupakan seorang pemburu. Karya ini mengisahkan seorang pemburu yang mencapai surga karena menghormati lingga pada malam Siwa.
Melalui Kakawin Lubdhaka, Mpu Tanakung terkesan ingin menyampaikan ajaran kearifan bahwa seorang yang dapat mencapai surga harus berjiwa lingga. Artinya, seseorang harus memiliki jiwa yang teguh serta tidak mudah goyah oleh suatu cobaan atau godaan di dalam hidup yang serba gemerlap namun bersifat ilusif. Hanya dengan jiwa atau iman yang kuat dan sentosa, manusia akan mampu terbebas dari samsara.
Kakawin Wrttasancaya
BANYAK ahli sastra menganggap bahwa Kakawin Wrttasancaya karya Mpu Tanakung telah memberikan kaidah-kaidah metrum. Perihal nilai-nilai kearifan yang tersirat dari kisah perpisahan dan pertemuan seorang putri dengan kekasihnya melalui sepasang itik dalam karya tersebut, sebagai berikut:
1. Persuaan Awal Perpisahan, Perpisahan awal Persuaan
Melalui kisah sang putri dalam Kakawin Wrttasancaya, Mpu Tanakung mengungkapkan tidak adanya keabadian di dunia ini. Segala yang ada selalu terikat dengan hukum ketidakkekalan atau hukum cakramanggilingan. Dari 'tidak ada' (0) menjadi 'ada' (1-9) dan kemudian menjadi 'tidak ada' (0).
Berdasarkan hukum ketidakkekalan dapat disimpulkan bahwa setiap kematian merupakan awal kehidupan dan kehidupan merupakan awal kematian. Demikian pula, persuaan merupakan awal perpisahan, dan perpisahan awal persuaan. Karenanya, jangan bersedih sewaktu berpisah, dan jangan bergembira sewaktu bersua. Terimalah keduanya dengan wajar.
2. Tinggi-rendahnya Martabat Manusia Tergantung Budi Pekertinya
Melalui Kakawin Wrttasancaya, Mpu Tanakung mengkritisi terhadap pendapat bahwa seluruh manusia adalah umat Tuhan yang mulia. Menurut beliau, tingkatan martabat manusia ditentukan oleh budi pekertinya.