"Begitu ya, Mak?" Kinanthi terdiam. Dari wajahnya terbaca, ia tengah menyimpan pertanyaan dalam benaknya. "Siapakah Ki Bayi Panurta?"
"Beliau orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga Ki Bayi, aku dan nenekmu bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkatan sudra. Semoga kamu tidak malu mempunyai nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tidak bisa baca dan tulis. Bisanya hanya memeras keringat dari tubuhnya untuk memenuhi perintah juragan yang mengupahnya. Untuk itu, kamu harus belajar! Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tidak hanya hidup sebagai babu."
"Ya, Mak. Tetapi, pada siapa aku harus belajar? Di desa Jurang Jangkung kan belum ada seorang guru yang bisa mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?"
"Memang, Ndhuk. Tapi bila kamu ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan Wanatawang. Di padepokan itulah, kamu dapat belajar pada Denmas Jayengresmi." Centhini sejenak teringat pada putra sulung Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih yang berwajah tampan dan berkepribadian halus itu. "Bagaimana, Ndhuk? Apakah kamu bersedia untuk mencecap ilmu dari beliau?"
"Tentu, Mak."
"Bagus!" Wajah Centhini senampak langit biru berlulurkan cahaya matahari. "Kalau begitu persiapkan perbekalan secukupnya. Sebelum matahari terbit esok pagi, kita harus meninggalkan desa Jurang Jangkung. Pergi ke padepokan Wanatawang."
Kinanthi menganggukkan kepala dengan pasti. Seusai Centhini beranjak dari ruangan depan untuk kembali meladang, Kinanthi menuju biliknya. Mempersiapkan perbekalan pakaian, beberapa potong kebaya lurik dan jarit yang masih tampak pantas dipakai. Dimasukkannya sepotong demi sepotong ke dalam kantong kain mori.
***
Matahari merangsek ke arah barat. Perlahan-lahan, matahari menyelinap di balik punggung bukit. Kabut perlahan-lahan menggenangi lembah desa Jurang Jangkung. Kinanthi menyalakan lampu minyak jarak yang menempel di tiang bambu petung ruangan depan rumah berdinding gedheg, berlantai tanah, dan beratap welit. Sesudah menyiapkan makan malam, Kinanthi melangkahkan kaki menuju bilik Centhini yang tengah mengunyah sirih di ruangan depan.
Di dalam ruang tidur Centhini, Kinanthi yang berhasrat mempersiapkan jarik dan kebaya untuk dikenakan emaknya esok pagi menuju padepokan Wanatawang itu tersentak. Manakala membuka pintu almari kayu di sudut ruangan itu, Kinanthi menyaksikan sebendel lontar di rak atas. Mengambil bendelan lontar itu dengan hati-hati. Seusai membuka-buka halaman demi halamannya, Kinanthi bicara dalam hati. "Aku berjanji. Bila Guru Jayengresmi telah mengajarkanku ilmu membaca, tidak ada kitab yang pertama aku baca selain kitab ini."
"Kinanthi...." Centhini memanggil lantang pada Kinanthi dari ruang depan. "Kemarilah! Ayo, kita makan bersama! Nasi dan sayurnya nanti keburu dingin."