Teater dikenal sebagai induk dari segala genre seni (mother of arts). Â Berbagai disiplin seni, seperti seni musik, seni rupa, seni tari, seni vokal, dan sastra merupakan unsur-unsur penting yang mengristal di dalam seni teater. Teater pula sering mendapat sebutan seni kolektif. Karena banyak personal, seperti: sutradara, astrada, penulis naskah lakon, penata setting atau penata dekorasi, penata make-up dan busana, penata lampu, penata musik, dan aktor-aktris yang terlibat di dalamnya.
Kehadirannya di blantika seni Indonesia, teater dapat dijadikan medium pemahaman terhadap kesan-pesan di balik peristiwa kehidupan. Karena itu, setiap produk pementasan teater senantiasa merefleksikan kondisi manusia secara kritis terhadap kehidupan personal atau kolektif dengan latar-belakang budaya dan tradisi, sosial, politik, atau religius yang hidup di lingkup kehidupannya.
Bagi insan teater, teater sangat berperan besar di dalam membangun suatu sikap arif di dalam menghadapi segala persolan kehidupan. Sikap arif yang selalu memosisikan proses lebih utama ketimbang tujuan. Pandangan yang berpijak suatu asumsi bahwa berhasil-gagalnya suatu tujuan tergantung pada benar-salahnya suatu proses tersebut tidak hanya diungkapkan Iwan Fals melalui lagu Seperti Matahari, melainkan sebagian besar insan yang telah lama berhelat dengan dunia teater.
Namun seiring perkembangan zaman, teater tampaknya mengalami kendala perkembangannya. Sanggar-sanggar teater tinggal nama. Polemik atau pewacanaan sehat tentang teater mulai jarang diangkat oleh beberapa pengamat atau kritikus melalui media massa lokal atau pusat.
Memang di luar dugaan, kalau kehidupan teater yang pernah mengalami kegairahan hidup pada periode 70-an hingga 90-an itu berangsur-angsur dalam kondisi sangat memrihatinkan. Seperti si Tua Bangka yang mencoba bertahan hidup dengan tongkatnya di samping liang lahat.
Realitas getir yang melanda kehidupan teater tidak bisa dibiarkan begitu saja. Persoalan urgen tersebut harus dicari faktor-faktor penyebabnya melalui analisa cermat, kritis, dan obyektif. Hingga solusi persoalan (problem solving)-nya dapat dirumuskan dan diaplikasikan di dalam upaya membangkitkan kembali kegairahan teater di masa mendatang. Sekalipun disadari, bahwa kendala-kendala yang bakal dihadapi akan semakin berat.
Persoalan Internal dan Eksternal
Sebelum mengambil langkah untuk menggairahkan kembali dunia teater lokal dan nasional, maka tindakan paling arif yakni mengaji terlebih dahulu perihal berbagai hambatan baik berupa persoalan internal maupun eksternal. Sekalipun tidak serumit mengaplikasikan rumusan teoritik ke dalam praktik pembangkitan kembali kehidupan teater, namun pengajian ini tidak dapat dikerjakan secara serampangan, instan, dan subyektif.
Persoalan internal yang menghambat kegairahan kehidupan teater dapat dicatat, antara lain: pertama, putusnya benang merah komunikasi dialogis antar generasi. Akibat yang ditimbulkan dari persoalan ini, generasi baru di dalam memelajari teater serupa sekelompok anak ayam kehilangan induknya. Tidak mendapatkan pengarahan perihal bagaimana berteater yang baik. Alhasil tidak musykil, apabila setiap pementasan teater dari generasi baru selalu kedodoran dalam manajeman dan pematangan teknis pementasan. Singkat kata, pementasan di bawah standar kualitas.
Kedua, kecenderungan generasi baru di dalam berteater lebih mengutamakan pentas sebagai tujuan daripada sebagai bagian dari proses. Akibatnya, apabila pementasan tersebut tidak memenuhi target keberhasilan yang diharapkan, perasaan frustrasi setiap person di dalam kelompok teater akan memerlemah gairah kreativitas selanjutnya. Demikian juga kalau pementasan berhasil, perasaan cepat puas akan menurunkan sikap disiplin di dalam berlatih. Dikarenakan, keberhasilan justu ditangkap sebagai candu yang memabukkan.
Ketiga, terdapat mis-interpreatasi di lingkup generasi baru di dalam menangkap hakikat teater. Teater sekadar dipandang sebagai medium pemanjaan romantisme kolektivitas, dan bukan medium pembentukan jati diri setiap person di dalam kelompok tersebut. Akibatnya, setiap latihan dan pementasan tidak akan mencapai hasil optimal. Spirit totalitas kolektif kurang tercermin baik saat latihan maupun pementasan.