Mohon tunggu...
Acet Asrival
Acet Asrival Mohon Tunggu... Guru - Guru

www.berandaedukasi.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Story | Roti Gembung

12 Agustus 2018   08:09 Diperbarui: 12 Agustus 2018   08:17 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
       Sumber gambar: www.huffingtonpost.com

"Kebaikan akan menemui kebaikan dan kejahatan akan menemukan kejahatan"

Koto Baru, 2008-2018

Sepuluh tahun berlalu begitu cepat. Banyak hal yang telah berubah, termasuk madrasah tempat saya sekolah dulu. Setimbun kenangan barangkali masih melekat di antara kami, sebagian kecil terkikis oleh perpisahan dan aktivitas hidup masing-masing. Bagiku tentu tidak semudah itu untuk melupakan madrasah dan orang-orang yang amat baik yang pernah kujumpai dalam masa pendidikan di madrasah.

Di saat keadaan hidup di rantau terasa susah dan payah alami pada masa itu, ada orang-orang yang sangat berjasa dan memberikan makna dalam kehidupan ini. Atas kebaikan orang tersebut saya ingin menjadi manusia yang lebih baik lagi dan bermanfaat untuk orang banyak.

Bapak saya seorang petani karet. Sewaktu saya mengutarakan keinginan untuk sekolah ke luar kota bapak menyetujuinya dan menyiapkan bekal untuk keberangkatan. Walau sebenarnya bapak tak punya tabungan untuk membiayaiku ke kota yang jaraknya dari desa kira-kira enam jam perjalanan via transportasi umum. Tapi bapak memanglah tiada duanya. Untuk pendidikan anak-anak bapak akan berusaha meskipun ujung-ujungnya bapak akan meminjam uang ke semangnya.

Bagi bapak tiada yang lebih penting dalam hidup ini melainkan pendidikan untuk anak-anaknya. Biarlah hidup apa adanya asalkan anak bisa sekolah. Bapak tak ingin jika kelak ia sudah tiada sedangkan anak-anaknya tidak disekolahkan setinggi-tingginya, itu akan menjadi penyesalan yang akan dibawa mati. Begitu kata bapak yang selalu kuingat sampai detik ini.

Musim paceklik pun tiba setelah satu semester saya di kota. Penghasilan bapak turun separuh dari biasanya. Harga karet murah, musim nyalagho, getah sedikit keluar dari hasil menakik di kebun tua milik bapak itu. Keadaan itu tidak menguntungkan bagi saya. 

Mau tidak mau saya harus pulang ke kampung halaman atau bertahan dengan konsekuensi uang belanja untuk kebutuhan berkurang. Setelah saya pertimbangkan, akhirnya saya putuskan untuk tetap bertahan sampai dimana saya sanggup.

Semua yang saya jalani pada masa sulit itu berubah. Biasanya makan tiga kali sehari jadi berhemat hanya makan satu atau dua kali sehari. Tidak ada lagi jajan di sekolah. Uang jajan harus disimpan untuk bayar sewa kostan dan membeli tetek-bengek yang wajib-wajib saja. Jujur hati saya ingin menjerit saat itu tapi untuk apa? Toh itu juga pilihan. bapak tak memaksaku pulang dan tak juga menyuruhku untuk bertahan.

Suatu hari di madrasah--- di hari senin seingat saya, saya betul-betul tidak punya uang sepeserpun. Di kostan hanya tersisa beberapa tekong beras Ketika jam istirahat tiba teman-teman berbondong-bondong ke kantin sekolah sebagian ke kantin luar sekolah. Seperti lazimnya tentu kalau tidak pergi makan atau sekadar jajan yang ringan-ringan saja.

Saya memilih duduk di depan kelas sambil menyandarkan badan ke salah satu tiang. Pikiran saya menerawang sana-sini. Begitu banyak godaan dalam pikiran saya antara ingin meminta ditraktir jajan sama kawan atau minjam uang sampai kiriman datang atau pura-pura ketinggalan uang pas lagi jajan bareng di kantin. Dalam kecamuk pikiran itu tiba-tiba seorang kawan menyentuh bahuku, aku pun menoleh. Ia lalu menawarkan roti gembung, sembari mengulur senyum manis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun