Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Beragama Belum Tentu Baik!

28 Juli 2014   07:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:00 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Selepas sholat isya’ tadi, di tengah susasana gempita takbiran dari corongmusholla ketika bapak bertandang ke rumah setidaknya dari obrolan kami ada satu pernyataan cukup menggelitik dari beliau. Kata beliau, Orang Beragama Belum Tentu Baik, simple saja pernyataan ini seperti tajuk tulisan saya kali ini. Pada obrolan tadi kami membincang fenomena menegenai banyaknya orang-orang beragama yang ternyata tidak baik. Sebaliknya, banyak orang yang tidak menjalankan agamanya dengan baik tetapi dalam kehidupan sehari-hari adalah orang baik. Saya rasa fenomena ini bersifat umum ada banyak disekitar tempat kita tinggal

Tentu saja, dalam tulisan ini saya tidak mempromosikan bahwa kita sebaiknya tidak perlu menjalankan perintah agama terlebih tidak beragama asalkan sudah bisa menjadi orang baik. Cuma sekedar berbagi pemikiran atau sekadar mengkritisi mengenai mengapa agama seolah tidak berhasil membuat penganutnya menjadi orang yang baik. Mengapa Indonesia yang dikenal religius sekaligus juga dikenal sebagai salah satu negeri terkorup di dunia? Menjadi urutan 5 besar untuk pornografi dan narkoba?

Padahal kalau dipikir-pikir, apa sih kekurangan kita. Kita shalat dan bukankah shalat dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar? Kita berpuasa dan bukankah puasa mestinya menghasilkan manusia-manusia yang takwa? Jama’ah haji kita terbesar di dunia? Tapi mengapa kita malah menjadi sarang korupsi, narkoba, dan pornografi?

Yang terpikir spontan saat menulis artikel ini adalah, barangkali agama sering atau kita asosiasikan dalam bentuk ritual semata, entahlah pernyataan saya ini relevan atau tidak. Sejak kecil kita belajar shalat, menhafal bacaan, dan menghafal gerakannya. Namun ada satu hal yang kita lupakan, kita tidak pernah diajarkan mengenai “mengapa kita harus shalat?” Saya rasa ini juga terjadi pada anak-anak kita sekarang.

Pertanyaan “mengapa” inilah barangkali inti dari segalanya. Inilah pertanyaan mengenai esensi, hakikat, dan paradigma. Sebelum pertnyaan ini terjawab, shalat hanyalah akan merupakan ritual tanpa makna. Shalat hanya merupakan rutinitas yang sampai kapanpun kita tak akan pernah memahami mengapa kita harus melakukannya.

Atau juga agama kita artikan sebagai sebuah “kewajiban” yang bila kita melakukannya akan di ganjar pahala dan surge, sedang mengabaikannya akan diganjar dosa dan neraka. Padahal kata-kata “kewajiban” sering kali bernuansa buruk. Kewajiban memberikan konotasi paksaan kepada orang yang melakukannya. Pendek kata, secara umum kita tidak terlalu menyukai kewajiban.

Kata kewajiban ini menurut saya juga seringkali menjauhkan kita dari kenikmatan. Barangkali pendapat saya ini frontal, analoginya begini, bayangkan seorang istri yang mengatakan bahwa ia melayani suaminya sebagai kewajiban. Dari bahasanya jelas, apakah wanita atau seorang isteri ini menikmati hubungan dengan suaminya? Saya yakin tidak.

Padahal beragama sejatinya adalah merasakan kenikmatan. Dalam shalt kita merasa nikmatnya berkomunikasi dengan Tuhan. Kita bica bercakap-cakap, mengungkapkan keinginan kita dan mendengarkan jawaban Tuhan. Dalam puasa kita merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap gerak dan langkah kita. Bahkan berpuasa sejatinya adalah menyimpan rahasia kita berdua dengan Tuhan. Ini tentu saja mengandung keindahan dan kenikmatan yang luar biasa.

Atau bisa juga tentang penafsiran kita bahwa agama adalah sebuah urusan kita dengan Tuhan. Menurut pandangan saya esensi agama adalah kasih, atau lebih saklek lagi menurut saya bahwa tanpa kasih tak ada gunanya kita beragama. Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Bahkan dalam agama mana pun senantiasa dikatakan” Belum beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”?

Menjawab pernyataan bapak saya di atas, orang beragama mestinya dikenal karena rasa cintanya kepada sesama manusia. Sayangnya hal ini dan saat ini terlupakan. Saya ingat pengalaman saya bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah pertengahan 1980-an. Ketika itu porsi pelajaran agama di Sekolah Dasar Negeri adalah 2 jam pelajaran/minggu. Sekolah saya lebih maju pelajaran agamanya. Namanya pun bukan pelajajaran agama, tetapi langsung menggunakan nama yang lebih spesifik: tauhid, Fiqih, Sejarah Islam, Bahasa Arab, dan Akhidah Akhlak (budi pekerti).

Sayangnya, pendidikan budi pekerti yang saya dapatkan saat itu saya rasa lebih kepad bermuatan pengetahuan saja. Padahal perubahan perilaku lebih ditentukan oleh kesadaran ketimbang pengetahuan. Saya rasa siapa pun tahu bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Akan tetapi, apakah pengetahuan ini cukup untuk membuat orang berhenti merokok? Tentu saja tidak.

Masih teringat dari obrolan dengan bapak saya tadi, menurut beliau agar orang kita harus menyentuh kesadarannya. Dan untuk bisa menyentuh kesadaran kita harus mengalami sebuah pengalaman spiritual. Pengalaman spiritual inilah yang harus benar-benar kita nikmati dengan cara beribadah, menolong orang yang susah, melatih kesabaran dan rasa syukur, dan sebagainya. Dan ternyata, saya masih belum bisa menjawab, Mengapa orang bergama belum tentu baik? Bagaimana menurut Anda?


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun