Konon, setelah Nabi Adam as meninggal pada usia 990 tahun, penggantinya yang menjadi cikal bakal raja-raja, yaitu putra yang ketiga belas bergelar sultan Kayumutu. Sedangkan yang meneruskan tugas-tugas kenabiannya adalah putra keenam, yaitu Nabi Sis.
Selanjutnya, putra Nabi Sis yang bernama Syaid Anwar, diceritakan sangat menyukai tirakat. Kegemarannya ini lebih dikarenakan keinginannya terbebas dari rasa sakit dan kematian.
Menurut Kitab Jitabsara, kerana ketekunannya Syaid Anwar mendapat anugerah berupa pusaka-pusaka yang bisa menghindarkannya dari rasa sakit dan mati. Pusaka yang dimaksud adalah: (1). Tirtamarta kamandanu, yakni air kehidupan, (2). Cupu Manik Asragina, yakni wadah yang bisa di isi dengan barang apapun tanpa pernah habis, 3). Lota Maosadi, yakni akar yang merupakan kehidupan dunia dan (4). Batu Retno Dumilah, yakni batu ynag dapat mewujudkan keinginan kita serta tak pernah merasakan kantuk dan lapar bagi pembawanya.
Selain empat benda tersebut, Syaid Anwar juga mendapat kesaktian yang dapat mengerti segala bentuk bahasa makhluk halus, serta apa yang menjadi keinginannya selalu terwujud. Diceritakan setelah bertapa selama tujuh tahun, Syaid Anwar moksa dan berganti badan rohani. Konon badan rohani syaid Anwar itu yang berubah menjadi dewa pertama yang dikenal Sang hyang Nurcahya.
Sejak peristiwa yang terjadi pada diri Syaid Anwar, disitulah terjadi awal pemisahan dua jenis kematian, yakni jenis kematian pertama ialah kematian yang sesungguhnya. Artinya orang yang sudah mati tersebut memang sudah saatnya mati layaknya manusia biasa. Sedangkan jenis kematian kedua, lebih dikenal dengan nama kematian karena laku serta mendapatkan karunia, sehingga hanya badan kasarnya saja yang mati, sedang rohnya abadi.
Setalah bertapa bertahun-tahun, putra ketiga Sang Hyang Ismaya (Semar) mendapat restu dari Sang Maha kuasa untuk mendapatkan keturunan. Kemudian; tak berapa lama sejak restu tersebut lahirlah Ratu Watugunung. Sementara adiknya putra Semar yang keempat, Batara Kamajaya menurunkan Arjuna Parikesit yang menurut ceritanya adalah keturunan dari raja-raja Dinasti Kutai, Kalimantan Timur, Yudayana (sebagai Raja Dinasti Bali), Gendrayana (sebagai Raja Dinasti, Jawa Timur).
Denga kekuatan gaib, maka Syaid Anwar bisa berubah dari manusia menjadi dewa. Begitupun halnya dengan Sang Hyang Tunggal, yang mengalami perubahan pada keturunannya.
Dalam konsep Jawa diterangkan awal Batara Guru, ialah dewa yang memiliki dua badan yakni jasmani dan rohani. Sehingga dilukiskanlah Batara Guru yang pernah berwujud menjadi raja pada abad I di negeri Medhang Kamulan.
Ada kepercayaan yang masih dianut hingga saat ini, bahwa para dewa bisa menyatu dengan manusia atau yang lebih dikenal dengan inkarnasi, yang dalam bahasa jawa disebut Nitis. Hal tersebut tercermin pada kepercayaan masyarakat Jawa bahwa raja adalah sebagai titisan dari dewa seperti Prabu Airlangga dari Kahuripan dan Aji Jayabaya dari Mamenang. Kepercayaab kedua bahwa raja diyakini sebagai titisan Batara Wisnu. Misalnya Raja Brawijaya I yang berasal dar Majapahit titisan Batara Siwa, bahkan Ken Arok mengakui bahwa dirinya adalah putra Batara Brahma, sehingga tak heran ketika menduduki singgasana Singasari,Ken Arok menyelipkan kata Batara ditengah gelarnya, yakni Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabumi.
Jalur kedwaan yang diluhurkan masyarakat Jawa ternyata bertahan selama berabad-abad. Ini terbukti pada abad ke XX, dimana masyarakat sudah mengalami peradaban modern, ternyata kepercayaan tersebut masih lekat menempel. Digambarkan, wilayah Timur Tengah adalah wilayah Nabi, sedangkan dewa bermukim di Asia Tenggara. Hal tersebut dilukiskan dengan berdiamnya salah satu dewa disuatu wilayah tertentu, misalnya Sang Hyang Wenang bermukim di Maladewa (Madagaskar) yang kemudian boyongan ke Himalaya, Sang Hyang Tunggal bertahta di Tanah Keling.
Dari semua konsep kedewaan yang ada, lalu siapakah yang membangun singgasana untuk mengayomi Tanah Jawa? Dipercaya dari cerita yang ada bahwa semuanya itu tak lain adalah Sang Pamomong, Sang Hyang Ismaya alias Semar. Bahkan disebutkan pula Batara Guru yang semula mendekam di Himalaya, akhirnya ikutan boyongan pula ke puncak Lawu. Disarikan dari berbagai sumber….