Mohon tunggu...
Dr. H. Abustan
Dr. H. Abustan Mohon Tunggu... Dosen - IT'S MY LIFE

If there is a Will there is a way

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyoal Kehadiran Negara

15 Februari 2020   14:31 Diperbarui: 15 Februari 2020   14:33 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh DR. H. Abustan, SH,. MH

Pengajar di Pasca Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (UID).

PERDEBATAN soal wacana pemulangan warga negara Indonesia bekas anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Tak dapat dipungkiri, telah memicu diskusi hangat masyarakat hari_hari terakhir ini.

Hemat saya, dalam konteks wacana pemulangan (NIIS) ke Tanah Air haruslah terlebih dahulu melihatnya dalam perspektif hukum positif kita atau mendudukkan masalah ini dengan pendekatan legal formal melalui di mensi hukum dan/atau instrumen UU yang ada. Pada titik inilah, maka yang menjadi kerangka acuan/kerangka dasar adalah UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Secara eksplisit disebutkan (vide Pasal 23) "Warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraan jika masuk dalam dinas tentara asing...".

Konteks Pasal tersebut di atas, memang jadi menarik di elaborasi dan atau dicermati lebih lanjut. Pasal 23 Undang_Undang Kewarganegaraan menyebutkan bahwa WNI yang tergabung dengan dinas tentara asing dan secara sukarela mengangkat sumpah/berjanji setia kepada negara asing dan/atau bagian dari negara asing tersebut akan kehilangan kewarganegaraannya. Pertanyaan utama dan mendasar buat kita: Apakah ISIS termasuk kategori dinas asing?. Poin ini harus diakui bahwa masih di perdebatan. Hal mana, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan ISIS merupakan kelompok teroris, bukan dinas asing. Dalam artian, ISIS unlawful combatant.

Dengan demikian, jika mengacu/merujuk pada Undang-Undang Kewarganegaraan, maka secara tak langsung kita mengakui atau memberi legitimasi bahwa eksistensi ISIS sebagai suatu negara yang sah atau organisasi kedinasan asing .

Selaras dengan hal tersebut, menarik pula menyimak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memiliki kewarganegaraan. Kedudukan aturan ini memiliki bobot yang se level dengan Undang-Undang Kewarganegaraan yang tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) atau tanpa kewarganegaraan (apatride). Intinya, penghilangan kewarganegaraan bisa dilakukan asalkan subyek hukumnya (personal) tidak mengalami status tanpa kewarganegaraan .

Dengan asumsi dasar demikian, sesungguhnya yang tak kalah pentingnya dalam ranah wilayah atas pemulangan eks alumni ISIS adalah penghapusan kewarganegaraan. Maka, jika opsi argumen hukum yang dipakai, pemerintah dalam hal ini mewakili negara haruslah mewastikan roadmed (peta jalan) yang dilakukan ke depan.

Di samping itu, harus pula memastikan bahwa tak boleh ada kekosongan hukum. Revisi Undang-Undang Kewarganegaraan perlu didorong karena faktanya ada keterbatasan daya jangkauan legislasi. Terutama kurang menjangkau realitas sosial yang dialami Indonesia saat ini.

Bagaimanapun, pada akhirnya netralitas dan kehadiran negara dalam situasi seperti sekarang akan selalu dipertanyakan.

Utan Kayu, 15 Februari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun