Mohon tunggu...
Abu Nawas
Abu Nawas Mohon Tunggu... Santri IRo-Society Bertinggal di Jayapura

Hobbi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Apa Gunanya AI Jika Kita Kehilangan Jiwa

30 Mei 2025   03:30 Diperbarui: 29 Mei 2025   16:18 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Ketika ChatGPT menulis puisi, Midjourney melukis karya visual, dan robot humanoid memberi ceramah di panggung internasional, dunia menyaksikan lonjakan kecanggihan kecerdasan buatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. AI telah memasuki hampir setiap aspek kehidupan manusia---dari pendidikan, kesehatan, hingga hiburan. Namun di balik euforia teknologi ini, muncul fenomena sunyi: meningkatnya angka depresi, kesepian, dan krisis makna hidup, terutama di kalangan generasi muda digital. Apakah ini kebetulan? Ataukah kita sedang menyaksikan bagaimana jiwa manusia mulai kehilangan pijakannya, di tengah era yang mengagungkan algoritma?

1. Mesin Semakin Pintar, Manusia Semakin Lupa Siapa Dirinya

AI hari ini mampu meniru hampir semua bentuk ekspresi manusia, dari tulisan naratif hingga ekspresi wajah. Namun, kemampuan meniru bukanlah kemampuan untuk merasa. Mesin tidak pernah menangis karena kehilangan, tidak pernah merindukan pelukan ibu, dan tidak pernah tersentuh oleh lantunan doa dalam sepi. Di sinilah perbedaan utama: manusia hidup bukan hanya untuk berfungsi, tapi juga untuk merasakan.

Sayangnya, di tengah kemudahan teknologi, manusia justru tergoda untuk menyerahkan terlalu banyak hal kepada mesin. Kita mulai malas berpikir dalam, menulis dengan hati, atau berdiskusi dengan sabar. AI bisa membuat segalanya instan---tapi justru itu membuat kita kehilangan proses, dan dalam proses itu pulalah jiwa manusia tumbuh. Ketika semua serba cepat, hati kita lambat berkembang.

Lebih jauh lagi, saat manusia hanya mengukur dirinya dari produktivitas dan efisiensi, maka nilai hidupnya menyempit menjadi sekadar angka dan hasil. Padahal hidup bukan sekadar target atau output. Jiwa manusia butuh makna, bukan sekadar perintah. Maka, jika kita hanya menjadi "pengguna teknologi" tanpa kesadaran, lama-lama kita akan "digunakan teknologi" tanpa arah.

2. Kecanggihan Tanpa Kesadaran Bisa Menyesatkan

AI tidak memiliki hati nurani, dan tidak bisa membedakan baik dan buruk kecuali berdasarkan input manusia. Jika nilai-nilai luhur tidak ditanamkan dalam penggunaannya, AI bisa menjadi alat yang membahayakan kemanusiaan. Kita sudah menyaksikan bagaimana deepfake, manipulasi algoritma, dan penyebaran disinformasi menjadi ancaman nyata. Teknologi canggih tanpa jiwa bisa menjadi pisau yang menggores kehidupan sosial.

Manusia adalah makhluk moral. Kita tidak hanya hidup dengan logika, tapi juga dengan nurani. Di sinilah peran manusia tidak boleh diambil alih mesin---kita adalah penjaga nilai, pengarah makna, dan pemikul tanggung jawab etis. Namun jika manusia sendiri kehilangan kesadaran akan tugas ini, maka AI bisa diarahkan oleh kekuasaan, bukan kebaikan.

Pendidikan karakter, empati, dan spiritualitas menjadi semakin penting di tengah laju AI yang tak terbendung. Generasi mendatang tidak cukup hanya belajar coding dan teknologi. Mereka harus belajar juga bagaimana menjadi manusia utuh---yang bisa menangis karena cinta, marah karena keadilan, dan bersyukur karena hidup. Di situlah letak jiwa yang sesungguhnya.

3. Menjadi Manusia Penuh, Bukan Setengah Digital

Di tengah gelombang digitalisasi, banyak manusia hidup lebih lama di dunia maya daripada dunia nyata. Kita berbicara lewat layar, mencintai lewat emoji, dan menangis dalam keheningan yang tak terlihat siapa pun. Padahal hakikat manusia adalah makhluk relasional. Kita butuh sentuhan, butuh tatap muka, dan butuh suara yang terdengar dengan getarannya, bukan hanya bentuk huruf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun