Apotek Desa kini sudah diresmikan dengan aturan juknisnya. Pemerintah tampak bersemangat menghadirkan apotek di tingkat desa dengan dalih memperluas akses obat dan layanan kesehatan. Dari sisi tujuan, gagasan ini tentu mulia: mendekatkan obat kepada masyarakat, terutama di daerah yang akses kesehatannya terbatas. Namun, di balik niat baik itu, ada keresahan yang tidak bisa diabaikan: para apoteker pemilik apotek swasta merasa diperlakukan tidak adil.
Keresahan Para Pemilik Apotek
Apotek swasta selama ini beroperasi dengan regulasi yang ketat. Permenkes No. 17/2024, misalnya, mengatur detail perizinan: seorang Apoteker Penanggung Jawab (APJ) hanya boleh tercatat di satu apotek, standar ruang yang harus dipenuhi, perizinan berlapis, hingga investasi modal yang tidak sedikit. Semua ini harus ditaati untuk mendapatkan izin berpraktik.
Sebaliknya, Apotek Desa mendapatkan kelonggaran izin. Persyaratan lebih ringan, proses lebih cepat, dan aturan tampak lebih longgar. Dari sudut pandang pemilik apotek swasta, ini menimbulkan tanda tanya besar: kalau sama-sama menjual obat dan melayani masyarakat, kenapa ada perbedaan standar regulasi yang begitu jauh?
Ketidakadilan dalam Praktik Bisnis
Apotek sejatinya adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang sekaligus entitas bisnis. Sama halnya dengan layanan radiologi dan laboratorium, apotek juga tunduk pada logika usaha. Bila regulasi lebih longgar untuk Apotek Desa, terjadilah distorsi persaingan. Apotek swasta, yang mayoritas dimiliki apoteker, harus mematuhi berbagai persyaratan rumit. Sementara Apotek Desa bisa berdiri dengan aturan yang lebih sederhana.
Analogi sederhana: bayangkan dua pelari dalam lomba maraton. Yang satu diwajibkan membawa ransel berisi beban aturan dan syarat yang berat, sementara yang lain diperbolehkan berlari ringan tanpa beban. Hasilnya bisa ditebak: siapa yang lebih cepat sampai ke garis akhir?
Fairness yang Kurang
Perbedaan perlakuan ini membuat pemilik apotek swasta merasa dianaktirikan. Mereka sudah berinvestasi besar, menanggung risiko perizinan dan pengawasan ketat, serta memastikan pelayanan sesuai standar. Namun ketika ada Apotek Desa yang aturannya lebih longgar, muncul rasa ketidakadilan struktural.
Kondisi ini membuat mereka seolah-olah dipandang berbeda, padahal pada dasarnya sama-sama menyelenggarakan layanan kefarmasian. Perbedaan aturan yang tajam menimbulkan kesan bahwa regulasi tidak lagi berfungsi sebagai penjaga keadilan, melainkan sebagai pembeda yang menambah beban bagi sebagian pihak.
Apakah Permenkes No. 17/2024 Bisa Dirubah?
Di sinilah letak pertanyaan pentingnya. Apakah mungkin Permenkes No. 17/2024 disesuaikan, sehingga standar yang berlaku bagi apotek swasta bisa lebih sederhana---setidaknya sejajar dengan Apotek Desa? Atau sebaliknya, standar Apotek Desa dinaikkan agar setara dengan apotek swasta?
Pilihan manapun yang diambil, prinsipnya sederhana: equal business, equal regulation. Kalau unit usahanya sama, mestinya aturan juga setara.
Usulan Jalan Tengah
Mungkin jalan tengah yang bisa dipertimbangkan adalah penyederhanaan izin untuk semua apotek. Misalnya:
- Perizinan dibuat lebih praktis tanpa mengorbankan aspek mutu dan keselamatan pasien.
- Beban administrasi dikurangi, tanpa mengurangi esensi pengawasan.
- Semua apotek, baik desa  (inti dan plasma) maupun swasta, tetap harus dipimpin apoteker agar layanan profesional tetap terjamin.