Mohon tunggu...
Abraham Giatson
Abraham Giatson Mohon Tunggu... Bram

Penulis hasil dari pemikiran dan fiksi. Penulis ekspolarsi kesehatan mental, personal growth dan dan anak melalui cerita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Save The Children

12 September 2025   08:30 Diperbarui: 12 September 2025   08:30 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Elliott Stallion on Unsplash       

Darurat militer, sebuah topik yang seringkali menjadi bahan perdebatan hangat, kembali mencuat dalam diskursus publik di Indonesia. Berbeda dengan narasi sensasional yang kerap disajikan media massa, evaluasi akademis terhadap darurat militer menuntut analisis yang lebih mendalam, melampaui sekadar laporan tentang potensi bahaya. Secara historis, penerapan darurat militer seringkali dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk mengontrol situasi yang dianggap kritis, seperti kerusuhan sipil, ancaman separatisme, atau ketidakstabilan politik yang meluas. Namun, dari perspektif sosiologis dan politik, langkah ini tidak sekadar respons terhadap ancaman, melainkan juga cerminan dari dinamika kekuasaan dan kontrol sosial.

Pandangan bahwa darurat militer hanyalah pengalihan isu dari krisis ekonomi, seperti yang diindikasikan oleh kinerja pejabat keuangan, memiliki dasar yang relevan dalam analisis ekonomi-politik. Dalam konteks struktur kapitalis, krisis ekonomi seringkali memicu ketidakpuasan publik yang dapat mengancam stabilitas elit berkuasa. Untuk mempertahankan hegemoni dan menghindari kritik terhadap kebijakan ekonomi yang gagal, pemerintah mungkin beralih ke strategi yang mengalihkan perhatian publik. Penerapan darurat militer, dengan segala implikasinya terhadap keamanan dan kebebasan sipil, dapat menciptakan krisis baru yang lebih mendesak. Dengan demikian, krisis yang satu ditutup oleh krisis yang lain, menciptakan siklus di mana perhatian publik terus-menerus dialihkan dari masalah struktural yang mendasar. Ini adalah manifestasi dari logika kekuasaan di mana instrumen negara, termasuk kekuatan militer, digunakan untuk menjaga tatanan yang menguntungkan kelompok elit.

Perkembangan masyarakat saat ini menunjukkan bagaimana informasi dikonsumsi dan disebarkan secara berbeda. Di era digital, informasi yang diterima oleh masyarakat tidak lagi diserap mentah-mentah; ia diinterpretasi, disebarkan, dan seringkali ditambahi "bumbu" oleh individu dan kelompok. Proses ini menciptakan apa yang disebut sebagai 'echo chamber' atau ruang gema, di mana narasi yang ada diperkuat melalui media sosial. Dalam konteks darurat militer, narasi pemerintah tentang ancaman keamanan dapat dengan cepat diserap dan disebarkan, menciptakan polarisasi dan ketakutan publik. Fenomena ini mencerminkan struktur sosial yang ada, di mana pola pikir dan perilaku elit berkuasa---yang cenderung melihat masalah dalam kerangka kontrol dan dominasi---tanpa disadari diinternalisasi oleh masyarakat. Masyarakat tidak hanya menjadi penerima pasif, tetapi juga reproduktor aktif dari pola pikir tersebut, yang pada akhirnya memperkuat narasi kekuasaan yang ada. Interaksi ini menunjukkan bahwa dinamika sosial bukan hanya hasil dari keputusan pemerintah, tetapi juga cerminan dari bagaimana informasi dan kekuasaan berinteraksi dalam ekosistem masyarakat yang semakin terfragmentasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun