Mohon tunggu...
Abraham Ethan M.S.M
Abraham Ethan M.S.M Mohon Tunggu... Lainnya - Founder @tunahukum

Abraham Ethan Martupa Sahat Marune is a law enthusiast. Abraham started his undergraduate education with a law degree at the Universitas Pelita Harapan graduated Cum Laude in 3 years and he’s currently continuing his postgraduate education at the Faculty of Law Universitas Pelita Harapan. Abraham started his career as an intern at the Jakarta Attorney General's Office, then continued his career at one of the largest life insurance companies in Indonesia. Now he’s a vice director at Ampuan Situmeang and Partners Law Office, an over 30 years of practice experience law firm in Batam and Jakarta. Abraham is also active in providing legal education to the public through social media @tunahukum with more than 150k followers, actively writing and publishing reputable national/international legal journals, and active as a speaker in national to international discussions/seminars/conferences.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Haruskah Mengamandemen UUD 1945 Saat Ini?

27 Mei 2020   13:57 Diperbarui: 27 Mei 2020   14:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

FACT

Pasca dipilihnya Jokowi untuk menduduki kursi kepresidenan beserta jajaran para kabinetnya di periode kedua, berfokus pada agenda kepemerintahan di bulan Agustus tahun 2019, sesuai dengan bulan dimana Indonesia menempatkan dirinya dalam kemerdekaan, wacana perubahan Undang-Undang Dasar 1945 digaungkan oleh beberapa praktisi yang menyertai pemerintahan Jokowi.

Menurut pemberitaan oleh Kompas.com (2019), kepentingan dalam rencana perlunya amandemen UUD 1945 beserta Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dikarenakan ketidaksesuaian idiom kelembagaan sebagaimana mestinya, salah satunya yakni perihal fungsi MPR yang berubah total dari UUD 1945 pada awal sebelum adanya amandemen. Amandemen pada tahun 2001 lalu, mengakibatkan MPR tidak dapat menetapkan TAP MPR serta penetapan GBHN, sehingga hal demikian menjadikan MPR tidak memiliki kewenangan dalam mengatur jalannya pemerintahan selayaknya lembaga nomor satu di Indonesia. [1]

Diketahui, bahwa menurut Jimly Asshiddiqie (2007) dalam  Sofia (2013), empat tahapan amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan, mengamandemen hampir semua materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi ketentuan sejumlah 71, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 item ketentuan. Saat ini, dari 199 poin yang diatur dalam UUD 1945, hanya 25 atau 12% poin ketentuan yang tidak berubah. Sisanya, sebanyak 174, sehingga 88% ketentuan dari ketentuan tersebut adalah materi baru atau hasil dari perubahan.[2]

Sedangkan pada kenyataannya, hasil dari amandemen UUD 1945 untuk pertama kalinya, yang dilakukan di Indonesia dalam empat (4) fase sepanjang tahun 1999 dan selesai pada tahun 2002, tidak dapat dikatakan cukup berhasil dalam menyesuaikan jalannya pemerintahan di Indonesia, salah satunya yakni berkenaan dengan administrasi negara pada tingkat eksklusif dalam aturan legislatif. Amandemen ini masih menyisakan berbagai masalah penting di Indonesia, khususnya pada tingkat lembaga perwakilan.

Menurut Ahmadi (2014), dalam implementasi fungsi hukum badan legislatif parlemen seusai dilakukannya Amandemen UUD 1945, salah satu objek utama penataan dalam struktur legislatif adalah terbentuknya unsur-unsur badan legislatif yang lebih ramping, hal tersebut menjadikan fungsi badan legislatif lebih terfokus dan terarah.

Sedangkan, penataan struktur Parlemen melalui amandemen UUD 1945 ini secara ketat diketahui telah menggeser Supremasi MPR ke supremasi Konstitusi dengan menyetujui sistem bikameral. Sedangkan sistem ini membutuhkan perbaikan dalam struktur, persyaratan, dan kualitas produk undangan yang lebih berpihak pada kepentingan Nasional. Konstelasi institusional dalam pemisahan ini membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menentukan dinamika administrasi negara Indonesia saat ini. [3] 

Dikarenakan, meskipun secara formal, struktur legislatif  dengan jelas mengadopsi tiga (3) lembaga, yaitu MPR, DPR dan DPD  dalam bidang Hukum Konstitusi Tata Negara sebagai sistem Tricameral, namun secara fungsi DPR telah menjadi lembaga dengan memiliki persyaratan penuh, sedangkan MPR dan DPD lebih aktif di badan kedua, sehingga menjadikan praktis administrasi negara dalam badan legislatif lebih dekat dengan sistem bikameralisme.

Sedangkan hasil fase ketiga dari amandemen 1945 yang mengakibatkan restrukturisasi parlemen untuk menerapkan bikameral yang tidak seimbang, jadi ini adalah poin penting dalam studi administrasi negara saat ini. Dinamika antar lembaga di parlemen bergerak sangat cepat sehingga menjadi membuat fungsi yang saling bersinggungan dan saling menindas.

Sedangkan pada pertengahan tahun 2019 ini, gaung akan wacana perubahan UUD 1945 memiliki tendensi yang bermacam-macam, kaitannya yakni dengan perombakan sistem serta fungsi agar MPR memiliki kewenangan, dan juga wacana akan amandemen yang bertitik pada kegiatan reamandemen. Menurut daring online oleh tajuk Tirto.Id (2019) menyebutkan bahwa praktisi pemerintahan Jokowi dari partai PDIP, memberikan gagasan akan reamandemen UUD 1945 yang berkaitan dengan pengembalian UUD 1945 sebelum dilakukannya ke-empat amandemen pada tahun 1999-2002, reamandemen ini ditujukan untuk mengembalikan fungsi serta cita-cita maupun idiom pemerintahan Indonesia pada awal diciptakannya UUD tersebut. [4]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun