Sebab, bagi perusahaan-perusahaan media besar dengan sokongan modal besar, yang paling penting adalah si wartawan bisa diberi TOR sebanyak-banyaknya seraya lebih mudah "melarang" mereka untuk menerima amplop, yang pada gilirannya akan membuat nama baik perusahaan mereka terjaga. Perkara hasil reportase si wartawan bagus atau jelek, itu bisa diberesi oleh para editor, karena yang terpenting adalah berita yang digarap "laku dijual".
Artinya, jika kita berani mengakui, banyak wartawan di pelosok daerah yang sebetulnya juga mampu menghasilkan berita yang berkualitas kalau mereka mau. Tapi, mereka memilih "mengolah" bahan berita bagus yang sudah mereka genggam menjadi "sumber penghasilan", dan sebisa mungkin menjadikannya berkelanjutan, karena mereka tak dibayar dengan layak.Â
Apa lacur, standar hebat dalam dunia kewartawanan kita akhirnya memang terbagi dua: hebat dalam hal menghasilkan berita berkualitas, dan hebat dalam urusan menyejahterakan diri "secara mandiri" dengan status wartawan yang dimiliki.
Dua kehebatan itu muskil menjadi satu kesatuan karena perusahaan-perusahaan media kita masih memperlakukan wartawannya sebatas sebagai karyawan. Ya, karyawan!
(tulisan ini adalah refleksi untuk Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari)