Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kata Siapa Wartawan Daerah Kalah Hebat dari Wartawan Pusat?

6 Februari 2019   12:16 Diperbarui: 6 Februari 2019   14:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada satu anekdot yang pernah saya dengar dari seorang kawan saat saya bertugas di sana: kalau belum bisa "nanduk" (minta 'jatah' dari pejabat), belum sah jadi wartawan.

Sampai di sini sudah paham, kan, yang saya maksud? Ya, kehebatan wartawan daerah barangkali memang bukan menghasilkan berita-berita menggemparkan, semisal mengungkap korupsi besar atau praktik dinasti kekuasaan, yang radiusnya bisa menyita perhatian banyak pembaca di seluruh penjuru negeri. Tapi, dalam hal "memaksimalkan" status sebagai wartawan, hingga urusan menyejahterakan diri, mereka rata-rata lebih ahli.

Yang saya ceritakan baru satu, di Simalungun. Di daerah-daerah lain yang saya dengar dari kawan-kawan, kondisinya juga sama. Rata-rata mereka memang lebih hebat dibanding wartawan pusat dan yang bekerja di media besar. Mereka mampu menjadikan pejabat-pejabat dan pengusaha nakal di daerah sebagai ATM berjalan mereka.

Apakah kalian meradang bahwa itu tak patut dikatakan hebat? Apakah kalian marah bahwa itu melecehkan profesi jurnalis? Oke, saya paham.

Begini, apakah kalian tak pernah berpikir bahwa kalian sesungguhnya hanya karyawan perusahaan, ya karyawan perusahaan, yang kebetulan bergerak di bidang industri media, alih-alih jurnalis yang mengemban profesi mulia?

Bukan maksud saya mengagitasi kalian supaya durhaka terhadap perusahaan yang sudah menggaji kalian saban bulan. Bukan! Terus terang, empat jempol akan saya berikan untuk kalian yang bisa (pura-pura) menafikan kenyataan itu dan tetap fokus menjalankan tugas jurnalistik dengan idealisme dan independensi yang kukuh dan murni.

Tapi saya mau tanya, ada berapa jumlah wartawan yang seperti itu? Sebab sepengalaman saya, baik ketika masih bekerja di daerah maupun di pusat, hampir semua wartawan, sekalipun yang bekerja di media besar, tetap mau menerima "pucuk" (orang pusat menyebutnya "jale") dari narasumber.

Malah tak sedikit pula yang "jemput bola", menelepon, ketemuan di kafe, ditraktir makan dan minum, dan saat berpisah digenggamkan amplop.

Lagipula, apakah ada jaminan bahwa wartawan pusat, wartawan-wartawan yang bekerja di media besar (saya sengaja memakai kata 'bekerja' karena wartawan pada dasarnya cuma pekerja perusahaan), memang benar-benar lebih hebat dalam urusan menghasilkan berita yang berkualitas?

Apakah semua wartawan pusat dan wartawan media besar lebih bagus tulisannya dibanding wartawan daerah dan media lokal? Apakah semua wartawan pusat dan media besar lebih lihai dan kritis dalam mewawancarai narasumber ketimbang wartawan daerah?

Hmm, belum tentu, bukan? Apalagi, faktanya rata-rata media besar sekarang lebih suka merekrut wartawan yang baru lulus kuliah atau minus pengalaman, sekalipun yang direkrut tak punya insting jurnalistik yang baik dan tak punya daya kritis yang kuat dalam mewawancarai narasumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun