Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kata Siapa Wartawan Daerah Kalah Hebat dari Wartawan Pusat?

6 Februari 2019   12:16 Diperbarui: 6 Februari 2019   14:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Indonesia, segala sesuatu yang berbau pusat selalu dianggap lebih hebat dibanding apa yang ada di daerah. Stereotip macam itu rupanya juga berlaku di kalangan wartawan. Wartawan yang bertugas di pusat, persisnya yang bekerja untuk media-media besar, akan dianggap lebih elite dan mentereng dibanding wartawan di daerah, apalagi yang berada di kabupaten-kabupaten antah berantah.

Bagi saya, orang yang berpikiran seperti itu hanya kurang wawasan dan pengalaman saja. Atau, bisa jadi orang itu punya wawasan dan pengalaman, tapi tak sampai berpikir bahwa ada kenyataan lain di luar batok kepalanya. Sebab, perkara "pusat-daerah" dalam dunia kewartawanan ini memang lain daripada yang lain.

Wartawan di daerah, baik itu yang berstatus kontributor media nasional maupun reporter media lokal setempat, nyatanya memang tidak selalu kalah hebat dibanding mereka yang bertugas di pusat.

Salah satu buktinya bisa ditemukan di Simalungun, kabupaten tempat JR Saragih bertakhta. JR Saragih tahu, kan? Itu, lho, bapak yang waktu itu sempat mewek gara-gara gagal ikut Pilkada Sumut lantaran tersangkut kasus pemalsuan legalisir fotokopi ijazah.

Kalian yang merasa wartawan mentereng dari pusat, akan tahu betapa hebatnya wartawan-wartawan lokal di sana. Mereka tidak hanya mampu menghasilkan berita, tapi juga rata-rata lebih sejahtera.

Bagi kalian yang bekerja sebagai wartawan, saya berikan satu saran penting: kuat-kuatkan mental untuk tidak minder jika kalian mendapati perkakas liputan kalian kalah mewah dibanding punya mereka.

Masih sangat jelas di ingatan saya, ketika itu tahun 2014, saya meliput longsor di jalur menuju Kota Parapat di pinggiran Danau Toba. Di kanan kiri saya, ada beberapa wartawan lokal yang tengah membidikkan kamera yang lensanya nyaris sepanjang lengan saya. Sementara saya sendiri, oleh kantor media saya yang konon lebih besar, hanya dibekali ponsel android untuk semua fungsi, tak lebih dari itu.

Tak cuma kamera mahal, banyak pula dari mereka yang sudah bermobil dan punya rumah. Dari mana? "Ya, dari kadis-kadis itu lah, Lae," kata seorang di antara mereka, menjawab pertanyaan saya dengan santai.

Belum sampai di situ, suatu hari di kesempatan lain saat hendak liputan bareng, saya dibonceng oleh seorang kawan. Dia wartawan media lokal di Kota Pematangsiantar, sebuah kota kecil di tengah-tengah Kabupaten Simalungun. Kami mendapati ada razia kendaraan oleh sejumlah polisi setempat. Jumlah polisinya tak banyak, hanya sekitar 5-6 orang.

Saat itu, kami juga disetop lantaran sepeda motor kami tidak dilengkapi kaca spion. Namun, alih-alih menyerahkan uang kepada si polisi untuk menghindari tilang, si polisi itu yang justru memberi sedikit hasil "tangkapannya" kepada kami.

"Kalau nggak dikasihnya tadi, kita beritakan, Lae!" kata si kawan setelah beberapa meter kami meninggalkan lokasi razia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun