Mohon tunggu...
abidlahsalfada
abidlahsalfada Mohon Tunggu... Penulis

Pelayan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Rasa Nikmat itu Benar-benar Ada atau Hanya Ilusi? Jouissance: Tingkat Kenikmatan Tertinggi Perspektif Jacques Lacan

12 Februari 2025   10:43 Diperbarui: 12 Februari 2025   10:50 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam lanskap psikoanalisis Lacanian, istilah jouissance bukan sekadar kenikmatan biasa, melainkan suatu pengalaman yang melampaui batas kesenangan dan sering kali bersinggungan dengan penderitaan. Konsep ini melampaui pemahaman konvensional tentang kebahagiaan dan kesenangan (pleasure), yang menurut Lacan, berada dalam tatanan prinsip realitas (reality principle). Sebaliknya, jouissance menembus batas simbolik dan masuk ke ranah eksesif yang bisa mengancam eksistensi subjek itu sendiri.

Jouissance dan Struktur Psikis Manusia

Lacan membangun teorinya dalam tiga tatanan utama: Imaginary, Symbolic, dan Real. Dalam konteks jouissance, kita dapat melihat bagaimana individu berusaha melampaui batas-batas simbolik yang mengatur keinginannya. Keinginan (desire), dalam psikoanalisis Lacan, selalu mengarah pada sesuatu yang tak dapat sepenuhnya dicapai, karena ia berakar dalam 'objek petit a' (suatu objek fantasi yang diyakini mampu mengisi kekosongan eksistensial). Namun, ketika seseorang mendekati titik jouissance, ia tidak hanya mendekati kepuasan, tetapi juga berisiko melewati ambang batas yang berujung pada kehancuran diri.

Misalnya, seorang seniman yang terus menerus mengejar kesempurnaan dalam karyanya mungkin mencapai jouissance ketika ia tidak lagi bekerja demi pengakuan sosial, tetapi demi dorongan tak terbendung yang bahkan bisa merusak dirinya sendiri. Contoh lain adalah dalam pengalaman cinta obsesif, di mana seseorang menemukan ekstase atau candu dalam penderitaan dan pengorbanan cinta yang berlebihan. Dirinya larut dan candu dalam pengorbanan cinta yang dalam, tapi di saat yang sama raga bahkan mentalnya hancur menuruti candunya tersebut.

Antara Jouissance dan Kehancuran

Salah satu implikasi terbesar dari konsep jouissance adalah bahwa kenikmatan tertinggi bukanlah sesuatu yang membawa kedamaian, tetapi justru membawa subjek mendekati batas kehancurannya. Ini bisa kita lihat dalam pengalaman mistik yang diceritakan oleh banyak tokoh spiritual, seperti dalam pengalaman fana dalam tasawuf atau ekstase para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Al-Hallaj. Dalam kondisi ini, individu mengalami penyatuan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, tetapi juga kehilangan batas-batas ego dan identitasnya.

Selain itu, fenomena seperti pengorbanan total dalam ideologi juga dapat dipahami dalam kerangka jouissance. Seorang revolusioner yang rela mati demi perjuangan mungkin tidak hanya digerakkan oleh kepercayaan rasional, tetapi juga oleh kenikmatan mendalam yang muncul dari ketundukan total pada idealnya. Dalam kasus ekstrem, ini dapat berujung pada tindakan terorisme atau fanatisme, di mana seseorang menemukan kepuasan bukan dalam kehidupan, tetapi dalam pengorbanan dan kehancuran.

Contoh Jouissance dalam Kehidupan Modern

Dalam kehidupan modern, kita bisa melihat manifestasi jouissance dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah dalam budaya kerja yang berlebihan atau hustle culture. Banyak individu yang secara sadar atau tidak, menikmati kerja tanpa henti, meskipun tubuh dan pikirannya mengalami kelelahan ekstrem. Mereka tidak hanya bekerja untuk uang atau pencapaian, tetapi ada kenikmatan tersembunyi dalam penderitaan akibat kerja berlebihan itu sendiri (sebuah kondisi di mana batas kesenangan dan penderitaan menjadi kabur).

Fenomena lain yang menarik adalah adiksi media sosial. Banyak orang mengalami jouissance dalam pencarian validasi yang tak ada habisnya melalui likes, shares, dan komentar. Ketika mereka mendapatkan perhatian, mereka merasa bahagia, tetapi ketika perhatian itu berkurang, muncul dorongan obsesif untuk terus mencari lebih banyak pengakuan. Ini menciptakan lingkaran tanpa akhir di mana individu mengalami kenikmatan sekaligus penderitaan dalam keterikatan mereka terhadap dunia digital.

Sumber:

  1. Nstor A. Braunstein. Jouissance: A Lacanian Concept. State University of New York Press, 2020.
  2. Bruce Fink. The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. Princeton University Press, 1995.
  3. Jacques Lacan. Ecrits. ditions du Seuil, 1966, edisi bahasa Inggris: W.W. Norton & Company, 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun