Hari ini adalah hari dimana bagi penulis merasa perlu kembali merefleksikan soal apa yang dinamakan pendidikan nasional? mengapa masih banyak anak bangsa di berbagai daerah Indonesia, hari ini ramai-ramai ijazahnya ditahan hanya karena tunggakan? Ini untuk mereka anak bangsa yang tunggakannya sudah tak terhitung, hasilnyapun terhempas, bahkan haknya sampai harus ikut terampas. Penahanan ijazah siswa oleh pihak sekolah adalah bentuk kekerasan yang seringkali tidak disadari sebagai kekerasan yang dibungkus administrasi dan dilegalkan oleh sistem pendidikan itu sendiri.
Kasus-kasus penahanan ijazah oleh sekolah karena alasan tunggakan biaya bukanlah insiden tunggal. Ia telah menjadi praktik sistemik yang mencerminkan wajah buram dunia pendidikan anak bangsa kita, ketika hak dijadikan barang dagangan dan keadilan kemanusiaan tunduk pada logika pasar. Masalah sistem, dalam hal ini sistem pendidikan bukanlah sekadar kebijakan atau lembaga, melainkan struktur keadilan kemanusiaan yang harus mengalir dalam setiap praktik sosial. Jika penahanan ijazah masih terjadi sebagaimana yang dialami lulusan di salah satu SMK Swasta di Kota Serang, Banten, yang mengadu pada penulis. Jika siswa harus menunggu "kebaikan hati" atau "himbauan pemerintah" untuk mengakses haknya, maka sistem pendidikan kita bukan hanya lemah, ia turut gagal menjalankan peran dasarnya sebagai pembebas.
Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita dalam wawancaranya dengan Perguruan Rakyat (1922), bahwa “sistem itu suatu hal yang harus dapat bekerja sendiri, berjalan sendiri. Kalau yang dinamakan sistem tidak bekerja, tidak jalan, berarti tidak ada sistem. Ada sistem, tidak perlu yang dinamakan himbauan itu. Ada himbauan, berarti tidak ada sistem”.
Pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju kemerdekaan hidup, bukan jerat yang menambah beban sebagai alat tekanan ekonomi kaum lemah. Dalam masyarakat yang beradab, pendidikan bukan sekadar komoditas, melainkan tangga keadaban dan kemerdekaan manusia. Seperti yang dikatakan Paulo Freire, “Pendidikan sejati adalah praksis: refleksi dan aksi manusia atas dunia untuk mengubahnya”.
Logika Kapital Dalam Ruang Pendidikan
Jika kita telaah lebih dalam, praktik penahanan ijazah adalah wajah dari logika kapitalistik yang merasuk ke sistem pendidikan. Ijazah, yang seharusnya menjadi hasil dari proses pembelajaran, berubah menjadi alat transaksi ekonomi. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai hak, tetapi jasa, dan murid dianggap sebagai klien yang harus membayar lunas sebelum menerima "produk akhir". Hal tersebut merupakan bentuk komodifikasi pendidikan. Karl Marx menyebutnya sebagai alienasi manusia terasing dari hasil kerjanya sendiri. Seorang siswa yang telah belajar bertahun-tahun, tidak bisa mengakses hasil belajarnya karena sistem menempatkan uang di atas hak.
Begitu pun Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi, menyatakan bahwa pendidikan adalah instrumen utama dalam menciptakan capabilities, kemampuan seseorang untuk hidup layak dan bermartabat. Ketika ijazah ditahan, maka seseorang dihambat dalam meraih kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Ijazah: Hak atau Komoditas?
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap peserta didik berhak atas hasil evaluasinya dalam bentuk ijazah. Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 58 Tahun 2024 secara tegas menyatakan bahwa sekolah dilarang menahan ijazah dengan alasan apapun, termasuk tunggakan biaya pendidikan atau alasan lainnya. Bahkan Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa penahanan ijazah adalah bentuk maladministrasi, sebuah istilah yang merujuk pada praktik buruk tata kelola lembaga publik.
Namun, masih banyak institusi pendidikan di negeri ini mengabaikan prinsip tersebut dengan dalih "tanggung jawab keuangan". Sekolah menjadikan ijazah sebagai jaminan utang, seolah-olah dokumen itu adalah barang gadai.
Lebih ironis lagi dalam senyap birokrasi disitulah keadilan sosial anak bangsa dikhianati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI