Memilih yang mana ? Satu bulan menjelang pemilu, saya masih bingung. Begitu banyak surat suara untuk memilih. Presiden dan Wakil Presiden, DPR-D Kabupaten/Kota, DPR-D Provinsi, DPR RI dan DPD RI. Â Begitu banyak calon yang karismatik. Tetapi platform politik - ekonomi mereka belum jelas bener. Partai-partai baru belum semua saya kenal. Terlebih lagi calon-calonya.Â
Undang-undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menimbang point D menyatakan perlu menyatukan dan menyederhanakan Undang-undang nomer 42 tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-undang nomer 15 tahun 2011 tentang penyelenggaraan pemilihan umum dan Undang-undang nomer 8 tahun 2012 tentang pemilihan anggota DPR, DPD dan DPR-D.Â
Kesempatan untuk memilih secara serentak dari sekian banyak saya syukuri, Indonesia akan mencatat sejarah baru menggabungkan dua jenis pemilu dalam satu waktu. Sekarang terasa sebagai pekerjaan rumah yang membebani. Tak terbayang apa yang dirasakan saudara-saudara kita di pelosok-pelosok desa. Mampukah mereka mencerna semua ini ?
Yang saya sayangkan, masa kampanye bukan menjadi masa memaparkan program-program Capres atau Partai, tetapi menjadi masa pergunjingan dan penghujatan. Pengungkapan kelemahan secara terus menerus membuat pemilih semakin ragu, dan membuat tuntutan pemilu semakin kuat.Â
Terlebih semburan fitnah, hoax dan kampanye hitam membanjiri di media sosial. Kalau saja ada penegasan dari para elit dan tidak mengedepankan kepentingan pragmatis semata, semacam ada kesepakatan antarpartai yang melahirkan satu Idiologi diwakili satu partai, mungkin tuntutan pesta demokrasi akan terasa tidak seberat sekarang.Â
Masih Dalam Undang-undang nomer 7 tahun 2017 pada pasal 414 - 415 tentang pemilihan umum, diatur Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dalampemilu tahun 2019 saat ini sebesar 4 persen. diharapkan mampu menyatukan idiologi dan semangat yang sama untuk bergabung menjalin kekuatan bersama dalam memajukan Bangsa.
Satu bulan kurang jelang pemilu serentak, dalam pemilihan Pilpres, Saya penuh harapan optimis dan cemas. apakah ini hanya soal menang kalah atau untuk memajukan Bangsa Indonesia. Karena usaha dengan janji-janji utopia, masyarakat adil makmur secara seketika, tidaklah mendidik.Â
Sebab semakin maju suatu masyarakat, pasti semakin kompleks jaringan sosialnya, semakin rumit tatanan politik dan ekonominya, dan semakin berat pula tanggung jawab masyarakatnya.Â
Maka, menurut saya, tentu bukan jargon-jargon utopis yang kita inginkan. kita ingin mendengar yang logis dan realistis agar Indonesia maju berdaulat, mandiri dan berkepribadian dengan berlandaskan gotong-royong. Â Â