Mohon tunggu...
Abidin Ghozali
Abidin Ghozali Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Ilmu Filsafat Islam Jamblang

Pembelajar Seumur Hidup Merindukan Indramayu Maju, Mulia dan Beradab.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Imanku Menurun, Begini Alasannya

12 Maret 2018   12:46 Diperbarui: 12 Maret 2018   13:03 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: adhinbusro.com

Mengapa beberapa golongan menganggap lebih religius daripada yang lain ?

Jawaban untuk pertanyaan semacam ini sering terfokus pada peran budaya dan atau pendidikan. Sebagai pijakan awal kedua pengaruh ini penting sebagai catatan. Sementara kita ketengahkan terlebih dahulu hasil penelitian terbaru menunjukan bahwa apakah kita lebih banyak terpengaruh dengan intuisi atau lebih cenderung mengandalkan analisis rasional.

Pada tahun 2011 Amitai Shenhav, David Rand and Joshua Greene dari Universitas Harvard menerbitkan makalah menunjuukan bahwa orang-orang yang lebih cenderung mengandalkan intuisi mereka lebih percaya Tuhan. Mereka juga menunjukan bahwa mendorong orang untuk berpikir secara intuitif meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Tuhan.

Sementara penelitian yang lebih mutakhir yang diterbikan Science, Will Gervais dan Ara Norenzayan dari Universitas British Columbia menemukan bahwa mendorong orang untuk berpikir secara analisis rasional mengurangi kecenderungan mereka untuk percaya kepada Tuhan. Bersama-sama temuan ini menunjukan bahwa setidaknya sebagian berasal dari gaya berpikir orang kebanyakan.

Saya berpikir bahwa 'religion has a smart-people problem', Misalnya pandangan religius Einstein yang telah dipelajari secara rinci dan dia adalah seorang panteis atau agnostik. Juga yang tak kalah populernya Darwin seorang ateis agnostik atau seorang yang sangat pendiam pada masa akhir hidupnya. Masih santer terdengar bahwa 'Well, Einstein believed in God," atau "Darwin converted on his deathbed" jadi ini adalah one problem is that both claims are false.

Masalah lainnya adalah bahwa mengasyikan percaya kepada keyakinan tokoh-tokoh ilmiah, padalah mereka tampak putus asa. Seolah-olah kita berkata: "Mungkin saya tidak dapat memberikan alasan untuk keyakinan beragama saya", tapi orang pintar percaya betul terhadap ilmuan. Sehingga keyakinannya tidak bisa digoyahkan. padahal dalam bahasa agama keyakinan semacam ini disebut sebagai 'taqlid' keyakinan yang ikut-ikutan (Imanku kata dia dan mereka saja).

Tetapi jika keyakinan terhadap ilmuan benar, apa bedanya jika Einstein atau Darwin percaya kepada kita?

Jika kita yakin dengan keyakinan kita, mengapa mencatut nama beberapa ilmuwan? Kita mungkin meminta mereka untuk memberi legitimasi pada keyakinan kita. Kita khawatir mungkin keyakinan kita terhadap agama tidak dapat dipertahankan.

Di UNI Syarif Hidayatullah, Fakultas Ushuluddin Prodi Aqidah Filsafat tempat dimana saya menimba ilmu. Disana ada orang-orang cerdas dan terdidik yang memiliki keyakinan beragama sangat kuat.

Namun, ini adalah fakta bahwa kepercayaan semacam itu menurun seiring dengan pendidikan dan pengetahuan yang terus bertambah. Fakta ini tidak membuat kepercayaan beragama seseorang salah, tapi harus membuat kecurigaan dengan pertanyaan,  "apa yang akan terjadi pada keyakinan kita jika memiliki pendidikan sains atau filosofis yang lebih baik ?".

Keyakinan kita mungkin tetap tidak berubah, namun bukti menunjukkan sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa indoktrinasi agama mencoba melindungi umat beriman dari gagasan yang berlawanan. 

(Jangan belajar filsafat, itu berat. kamu gak akan kuat, biar aku aja).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun