Mohon tunggu...
Abdussalam Bonde
Abdussalam Bonde Mohon Tunggu... Sekretaris - Pelayan Publik, Orang Doloduo Bolaang Mongondow-Sulut

Orang biasa, bukan sispa-siapa, juga bukan apa-apa. Tapi selalu ingin belajar dan berusaha menjadi yang berguna untuk alam dan manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Kualitas Kepemimpinan

6 Oktober 2020   13:57 Diperbarui: 6 Oktober 2020   14:53 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi masih menjadi buah bibir yang terus diperbincangkan, baik oleh kalangan para akademisi, praktisi politik dan aktivis sosial. Meskipun salah seorang Guru Besar Kebijakan Public di sebuah University George Mason-USA yang terkenal dengan nama Yoshihiro Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul The End of History and The Last Man tahun 1992, telah menyatakan bahwa demokrasi merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia dan merupakan bentuk final dari sistem pemerintahan manusia.

Tesis Fukuyama, tentunya banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Kant dan Hegel, serta analisis kritisnya terhadap ideologi Marxisme dan Lenimisme yang tengah mengalami ajal politik pasca perang Dunia II. Sehingga, Fukuyama menyimpulkan bahwa dipenghujung sejarah dan masa depan tidak akan pernah ada lagi ruang-ruang bagi pertarungan antar ideologi besar. 

Artinya demokrasi sudah merupakan titik kulminasi akhir dari sebuah sejarah. Namun, tulisan ini tidak hendak men-diskursus tesis Fukuyama yang banyak menimbulkan gugatan dari berbagai pemikir yang bergelut di bidang ilmu politik. Tulisan ini hanyalah sebuah kegelisahan saya atas sistem demokrasi yang masi terus melahirkan pemimpin yang tak berkualitas yang pada akhirnya hanya menjadi aib dalam arus sejarah demokrasi.

Sejak demokrasi lahir dan dipilih sebagai satu-satu bentuk sistem pemerinthan alternatif yang digunakan oleh hampir semua negara, banyak yang merasa kawatir bila tidak dibarengi kualitas seorang pemimpin. Adalah Sokrates, seorang filosof yang terkenal di zaman Yunani kuno, yang hidup pada 5 abad sebelum masehi misalnya merasa khawatir akan sistem demokrasi. 

Menurutnya, sistem demokrasi memberikan peluang suatu negara akan dipimpin dan diperintah oleh orang-orang dungu(yang dimaksud dengan orang-orang dunggu disini adalah orang yang kemampuan berfikirnya rendah, dan tak bisa memimpin. Jangankan memimpin orang lain memimpin dirinya ia tak bisa, pent.) yang kebetulan mendapat banyak suara mayoritas rakyat. Kekhawatiran Socrates ini bukanlah tanpa alasan sebab dalam demokrasi siapa pun berhak mencalonkan diri menjadi pemimpin, dan rakyat sebagai pemberi amanah berhak dan bebas memilih pemimpin yang disukainya.

Karena siapa saja bole menjadi pemimpin dalam sistem demokrasi, maka orang yang hanya bermodalkan ketenaran dirinya sebagai seorang public figure" -seperti pengusaha, artis, nelayan, pelawak, seniman, dan lain-lain-bisa ikut dalam suksesi kepemimpinan. 

Sekalipun dia kader dadakan atau karbitan kalau ditopeng dengan kekuatan finansial, seseorang dapat saja dipilih oleh rakyatnya. Dan yang lebih parah lagi, jika rakyat sebagai pemilih, hanya mempertimbangkan pilihannya karena faktor promordialisme-seperti karena factor suku, agama, ras, dan antorgolongan-tanpa dilandasi dengan logika berfikir secara realistis-kritis. Akhirnya, seorang pemilih justru memilih calon pemimpin yang dungu tidak melihat kualitas pemimpin seperti yang dikawatirkan oleh Socrates.

Disinilah kemudian kita perlu mengukur sejauhmana kemampuan sistem demokrasi dapat menghasilkan sosok pemimpin yang tidak hanya bermodalkan ketenaran dan kekuatan finansial, tetapi harus ditopang dengan keahlian dan kecerdasan. 

Sebab demokrasi bukan sekedar prosedur atau cara bagimana memilih pemimpin, tapi lebih pada tujuan yang hendak dicapai yaitu lahirnya pemimpin yang berkualitas yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas dan akseptabilitas. Jika tidak keadaan tersebut hanya akan melahirkan kepemimpinan yang dunggu, kaku, polos dan kere dalam konsep.

Fenomena ini masi menyelimuti mayoritas masyarakat kita bahwa perpektif demokrasi masi sebatas sebuah prosedur dalam memilih pemimpin berdasarkan kuantitas-primordialitas. 

Adapun soal kualitas, sering tersingkir dari sebuah sistem demokrasi. Padahal subtansi demokrasi merupakan pemenuhan kehendak rakyat, dimana kepala negara atau kepala daerah dapat menempatkan urusan rakyat sebagai agenda utama dalam setiap pengambilan kebijakan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun