Di dunia otomotif Indonesia, tidak semua pembeli mobil adalah pengemudi. Banyak dari mereka sejatinya adalah pemburu pengakuan, pengatur strategi keuangan, atau bahkan penguji keberuntungan teknologi baru. Dan itu sah saja. Yang tidak sah adalah... menyangkal bahwa semua itu punya konsekuensi.
Tulisan ini bukan hasil nonton YouTuber otomotif yang semua mobil katanya "bagus banget!" asal disponsori. Ini juga bukan dari brosur yang selalu menyebut "tersedia terbatas" padahal stok gudang masih menumpuk.
Ini adalah ilmu jalanan. Ilmu praktis dari para pemilik mobil yang sudah beli, sudah pakai, sudah coba servis, dan... sudah merasakan pahit-manis saat menjual kembali.
Level Borjuis: Mobil Eropa, Gengsi Dulu, Harga Jual Nanti Saja
Ini adalah kasta tertinggi secara tampilan, tapi belum tentu secara logika. Mobil Eropa memang menggoda: setirnya empuk, fitur melimpah, kursinya bisa mijit, dan warnanya "frozen black metallic" yang tak bisa diucapkan oleh tetangga.
Tapi semua itu ada harganya. Dan bukan cuma harga beli.
Harga jual kembali? Siap-siap kehilangan 40--50% dalam 2--3 tahun.
Biaya servis? Kalau kamu harus bertanya, itu tandanya kamu tidak cocok.
Sparepart? Ada, tapi sabar---datangnya bisa secepat pengiriman kartu lebaran zaman dulu.
Namun para borjuis tak peduli. Bagi mereka, prestise tak bisa didepresiasi.
"Kalau masih bisa parkir di valet hotel bintang lima, buat apa tanya harga pasar OLX?"
Level Pragmatis: Mobil Jepang, Cinta Lama yang Bisa Dicairkan
Level ini adalah benteng terakhir nalar finansial.
Mobil Jepang itu ibarat teman hidup yang setia: irit, tahan banting, dan bisa diandalkan saat butuh.