Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Para "Predator" HAM

20 Oktober 2021   08:36 Diperbarui: 20 Oktober 2021   08:37 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu keprihatinan yang terus berlanjut dan barangkali akan berlanjut di kemudian hari manakala dikaitkan dengan penyakit fundamental elemen bangsa yang bernama korupsi. 

Korupsi telah mengeksistensikan dirinya sebagai kultur yang benar-benar "diberhalakan" oleh sejumlah elitis bangsa. Susul menyusul elemen kekuasaan dan "mitranya" terjaring aparat penegak hukum.

Hingga saat ini, KPK terus mendapatkan tangkapan dari berbagai pejabat atau pihak yang diduga melakukan korupsi. KPK seolah tidak kehabisan bibit yang layak mengisi jeruji  besi (penjara), atau setidaknya negeri ini belum bosan menghabiskan penyakit seriusnya yang menodai hak asasi manusia.

Kasus itu menjadi representasi kalau stigma kultur korupsi sudah benar-benar membumi di negeri ini tidaklah berlebihan. Kultur menahbiskan kekayaan (uang) secara ilegal ini telah membuat marwah negara hukum ini terpuruk ke titik terendah. Masyarakat negeri ini tak ubahnya cermin bangsa yang terhegemoni dalam keterjajahan, yang penyakitnya berakar pada soal perburuan uang ilegal.

Selain itu filosof Cicero sudah membenarkan jauh-jauh sebelumnya lewat pernyataannya "Nihil tam munitum quod non expugnari pecunia posit" atau  tiada benteng yang sedemikian kuat yang tidak dapat ditaklukkan dengan uang.

Peringatan Cicero  itu sejatinya mennnjukkan, bahwa uang bisa menjadi virus mengerikan yang membuat orang pintar bisa tereduksi dan "terbunuh" kepintarannya, orang beragama bisa kehilangan agamanya, pejabat berintegritas  kehilangan etika jabatannya, dan para politisi kehilangan komitmen kerakyatannya.

Dalam skala yang bersifat makro, konstruksi negara hukum bisa kehilngan supremasi yuridisnya atau konstitusi negara hanya tinggal teks-teks dalam kertas dan gagal menyentuh realitas akibat kedaulatan uang atau penyikapan sejumlah elitis yang menempatkan uang sebagai "predator" gaya baru, yang nota bene sebagai "predator" terhadap hak asasi manusia (HAM)

Peringatan Cicero itu sangat tepat dialamatkan pada kondisi republik ini, yang sedang mengalami krisis negarawan akibat pemosisian uang yang menyebar atau diakselerasikan menjadi virus ganas yang membunuh atau "menjagal" etika, agama, dan ideologi negara.

Manusia-manusia intelek (pintar) yang semestinya berkapabilitas utama mengendalikan uang dan memenangkan intelektualitasnya guna menjawab problem bangsa, tidak sedikit diantaranya yang lebih terpikat pada pesona uang. Mereka tidak mencintai keistimewaan ilmu pengetahuannya dan sebaliknya mereduksi ilmunya demi memenuhi semangat keserakahan yang tak kenal titik nadir.

Memang terbaca dengan mudah dewasa ini, bahwa orang pintar (intelek) makin gampang ditemukan dimana-mana. Di pelosok kampung atau desa misalnya, tidak sulit menemukan sarjana, magister, atau bahkan doktor. Namun menemukan negarawan, jelas (sangat) sulit sekali. Ini dibuktikan saat menjelang suksesi kepemimpinan dari desa hingga pusat, kendala utama mesti soal kandidat yang berjiwa negarawan.

Terbutki, setelah ada diantara elemen masyarakat yang terpilih menjadi kepala desa atau perangkat desa, tidak lama mengelola kekuasaan di level fundamental pemerintahan ini, tidak sedikit yang mereka yang terjerat korupsi keuangan desa. Beragamnya sumberdana desa ternyata lebih menggodanya dibandingkan kepentingan mengonstruksi pemerintahan desa yang bersih dan berwibawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun