Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menumbuhsuburkan Damai

3 Maret 2021   07:23 Diperbarui: 3 Maret 2021   07:43 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
christenfarmnursery.com

Oleh: Abdul Wahid

Mantan Menteri Agama RI, Alamsyah Ratuperwiranegara pernah mengingatkan, bahwa ada dua musuh utama yang harus diwaspadai, yakni kemiskinan dan kebodohan. Mengapa mantan Menag sampai menempatkan kemiskinan sebagai salah satu musuh utama?

Pernyataan Alamsyah itu tentulah tidak ada maksud sama sekali menyalahkan orang miskin, namun di mata hukum negara, orang miskin bisa saja menjadi musuh ketika sepak terjang atau perilakunya melawan hukum negara, meski perlawanan yang ditunjukkannya ini akibat tekanan penderitaan atau ketidakberdayaan yang sekian lama menghegemoninya.

Orang miskin tak akan jadi musuh utama negara, kalau negara memperlakukannya sebagai subyek berdaulat yang tak dalinasikannya. Orang miskin terpaksa memusuhi elemen negara, manakala elemen negara ini terus menerus memonopoli dan menguras hak kesejahteraan atau pemerataan yang seharusnya mengalir membebaskannya. Orang miskin tidak akan sampai tergelincir menghadirkan atmosfir sengkarut, manakala pilar-pilar negara tak menjadikannya sebagai obyek yang didehumanisasikannya.

Saat komunitas miskin atau kelompok tertindas melakukan perlawanan dengan cara menggelar kekerasan dan melawan aparat  atau "menggoda" kelompok mapan, maka perlakuan ini selayaknya disikapi dengan kearifan, pasalnya sangat niscaya bahwa yang dilakukannya itu demi panggilan isi perut, ekspresi rasa prustasi dan regresi akibat dikalahkan oleh sistem yang menyakitinya, menggugat krisis kredibilitas di kalangan penyelenggara negara, atau berusaha merekonstruksi kedaulatan hak-haknya yang dirampas dan didegradasi oleh kebijakan  negara dan kelompok tertentu.

Dapat saja terjadi bahwa ketidakberdayaan suatu komunitas (community empowerment) yang menjadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian praksis sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya, serta negara secara reflektif dan eksplosif menunjukkan kemarahannya dengan mengunggulkan protes (perlawanan) yang amat radikalistik dan barbarianistik.

Mereka itu bukan tak mungkin sudah terbilang sebagai segolongan elemen sosial yang tidak lagi bisa menahan desakan emosi dalam dirinya akibat ditindas secara berlarut-larut dan berlapis, serta diledek oleh pola kehidupan elitis yang menampakkan disparitas dan keangkuhan.

Sosiolog Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, "akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan". Hernando de Soto menguatkan, "rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan".

Sejalan dengan itu, Girand dalam Violence and Sacred (1989) mengemukakan, bahwa keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat. Keberingasan atau kejahatan kekerasan akan begitu saja bisa terjadi akibat prustasi akut yang diderita seseorang dan masyarakat.

Mencermati pandangan Hurton, Hunt dan Girand itu menunjukkan bahwa kekerasan individual dan massal potensial terjadi terkait secara signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil, distribusi sumber pendapatan yang disparitas, praktik dehumanitas atau ketidakberadaban  yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya negara. Ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, maka bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas.

Kerusuhan dan kekerasan akhirnya menjadi "ongkos" sosial (social cost) atas kesenjangan yang terlestarikan, kemiskinan yang mengabsolut, kemustadh'afinan yang tidak terentas dan terbebaskan. Mereka, orang miskin "menjawab" praktik kezaliman pasar dan geografis, serta dehumanisasi diskresi ekonomi-politik yang diproduk oleh pemerintah yang membuatnya bisa semakin akrab dan bersahabat dengan penderitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun