Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tangan-tangan Gaib

9 Mei 2020   10:36 Diperbarui: 9 Mei 2020   10:33 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://www.youtube.com/watch?v=4arAypXzZoA

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

 

TS Illiot, sejarawan ini pernah menyatakan "sejarah itu bisa mengajarkan seseorang mencapai kesuksesan. Dari sejarah, banyak terkandung pola tutur kata, sikap, dan perilaku yang bisa digunakan seseorang dalam menentukan pilihan dan membentuk mentalitasnya". 

Itu mengajarkan kita untuk tak mengabaikan sejarah. Dalam sejarah terdapat rumusan norma-norma edukatif yang bisa membuat kita punya tempat berpijak dalam menjalankan peran-peran besar dan strategis. Dalam sejarah, seseorang diberi tempat berguru, mau memilih  jalan sesat dan menghancurkan, ataukah jalan sehat dan membahagiakan. 

Pejabat negara pun demikian, sepanjang dirinya tidak menghilangkan momentum untuk membaca sejarah, maka dirinya punya modal mencerahkan hidupnya dan orang lain, setidak-tidajnya mampu mengalinasikan (menyelamatkan) dirinya dari kemungkinan terseret dalam jebakan atmosfir dan sistem anomalistik yang menyesatkan dan menghancurkannya.

Sayangnya, tidak banyak pejabat negara yang bersedia membaca sejarah dengan benar. Mereka lebih mengedepankan egoisme dan arogansi individual dan strukturalnya demi menjaga kesempatan emasnya untuk tetap bisa memperkaya diri atau melakukan beragam malapraktik profesi. Mereka berambisi untuk mendisain dan melanjutkan penyalahgunaan jabatannya. Mereka bermaksud menjaga kebenaran doktrin Lord Acton yang menyebutkan, bahwa kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut juga korupsinya absolut (power tends to corrupt, absolutly power tends to absolutly corrupt).

Paulus Londo (2012) menyebut, korupsi senantiasa erat dengan kekuasaan. Sebab korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan.

Baik Acton maupun Londo sama-sama mengasumsikan, bahwa kekuasaan (jabatan), apapun jenis kekuasaan yang sedang diduduki seseorang, potensial untuk disalahgunakan. Penyalahgunaan ini diantaranya berbentuk korupsi. Sedang korupsi ini bermacam-macam sesuai dengan jabatan atau peran yang dimainkan seseorang. Ketika yang dijabat adalah hakim, maka korupsinya pun berelasi dengan perannya sebagai abdi yudisial.

Korupsi dalam posisi sebagai abdi yudisial tidak sebatas korupsi langsung yang berkaitan dengan uang negara yang dipercayakan pada institusinya, tetapi juga korupsi tidak langsung seperti reduksi pasal melalui rekayasa interpretasi (penafsiran), penghilangan alat bukti, menerima suap atau gratifikasi, atau memainkan pola simbiosis mutaalisme dengan pihak lain yang merasa berkepentingan dengan kasus yang ditanganinya.

Pola simbiosis mutualisme itulah yang  tidak sedikit ditemukan di berbagai sektor strategis, termasuk dalam lingkungan peradilan. Sudah banyak aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim yang terpaksa harus menerima posisi pesakitan guna diadili akibat tergelincir melakukan penyalahagunaan jabatan (malapraktik profesi) atau korupsi karena kedudukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun