Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Surat dari Creto dan Socrates

27 April 2020   20:26 Diperbarui: 27 April 2020   20:37 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Abdul Wahid

Sejarah atau cerita para filosof mengajarkan banyak hal tentang hidup ini. Al-kisah filosof kenamaan asal Yunani Socrates pernah ditahan oleh aparat penjara karena didakwa melakukan suatu tindak kejahatan. Aparat tidak menerima alasan atau bukti-bukti yang menunjukkan kalau Socrates tidak bersalah. Creto, sang pengusaha yang pernah menjadi murid Socrates ini kasihan melihat gurunya ditahan seperti kriminal-kriminal pada umumnya. Creto menganggap ini perlakuan tidak adil. Creto bermaksud meluruskan keadilan dengan caranya.

Dengan maksud utama membebaskan Socrates, Creto hendak menggunakan salah cara melanggar norma etik dan hukum, yakni menyuap petugas penjara yang menahan gurunya itu, tetapi di luar dugaan Creto, ternyata Socrates menolaknya sambil berujar "keadilan memang harus ditegakkan, tetapi keadilan harus berlaku pula untuk semua (justice for all) atau yang lainnya.

Masih kata Socrates, mereka yang ditahan ini bukan tidak mungkin juga seperti aku, yang belum tentu bersalah, di samping cara (menyuap) demikian akan membuka peluang bagi masyarakat di kemudian hari untuk menempuh cara yang sama, yakni menegakkan keadilan dengan cara-cara kejahatan".

Dalam kasus tersebut, secara yuridis empirik kita perlu belajar dari Socrates. Andaikan filosof ini menjadi guru yang ditaati atau diteladani di negeri ini, tentulah republik Indonesia tidak terus menerus menempati peringkat "meyakinkan" di sektor korupsi atau tidak sering "scudeto" (juara) dengan pilar-pilar dan arsitek kejahatan krah putih (white collar crime), atau tidak sampai memposisikan aparat penegak hukum sebagai segmentasi sindikasi kriminalitas klas elitis, atau setidaknya dunia peradilan di negeri ini tidak sampai dijadikan obyek yang "dicibir" oleh masyarakat pencari keadilan.

Dari apa yang dididikkan atau diedukasikan Socrates kepada muridnya itu menunjukkan, bahwa Socrates bukan hanya tidak membenarkan cara memperjuangkan atau merebut keadilan dengan kejahatan, melanggar dan menyelingkuhi hukum, atau "main pintu belakang" seperti suap-menyuap, tetapi juga menghargai dan menghormati berlakunya sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mencita-citakan tegaknya keadilan untuk semua (justice for all), berlaku secara egaliter, atau tanpa sekat kasta dan strata sosial, atau praktik-praktik non-diskriminasi.

Socrates menghormati kinerja aparat penegak hukum dalam nenangani masalah kejahatan. Apa yang dilakukan oleh aparat kepada dirinya dianggap sebagai segmentasi dari kebenaran secara de jure, meski kepada dirinya merugikan. Dalam tataran ini, Ia merelakan dirinya menjadi bagian dari korban legalitas dan kebenaran dari sistem yang sedang berlaku. Dalam asumsinya, kalau sistem ini tidak dihormati, apalagi oleh dirinya yang sudah ditempatkan sebagai "guru masyarakat dan hukum", bagaimana mungkin norma-norma hukum akan mampu menjadi sumber utama kontrol atau monitoring  setiap warga negara.

Idealitas itu sejalan dengan apa yang dituangkan dalam konstitusi kita (UUD 1945) yang menganut prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dan pertanggungjawaban di depan hukum, yang maknanya setiap orang dituntut, diperlakukan, dan dkontrol dengan mekanisme kesederajatan, tanpa membedakan, atau mendiskriminasikan diantara lainnya. Siapa saja yang menyelingkuhi prinsip ini, maka ia menabur penyakit moral yang mengarahkan pada "pembunuhan" negara hukum (rechstaat)

Sayangnya, berbagai sistem hukum yang berlaku di negeri ini seringkali tidak dihormati oleh aparat penegak hukum sendiri. Sistem ini kerap, kalau tak dibilang akrab berada dalam pasungan praktik-praktik, meminjam istilah JE Sahetapy dengan pembusukan hukum (legal decay), artinya ada produk yuridis yang secara idealis mengatur suatu kontrol perilaku aparat, tetapi ketika kontrol hukum ini dicoba diberlakukan atau diberdayakan menjadi kekuatan hukum dalam aksi (law in action) dengan gampangnya dimentahkan atau "diimpotensikan" oleh tangan-tangan gaib (the invisible hands) yang sangat superior, yang tangan-tangan gaib ini bisa berada dibalik terali besi penjara atau yang sedang menjadi "manajer-manajer" penjara.

Kalau masyarakat terus digelontor pola pembelajaran kriminal ala paradigma Machiavelli atau elit penegak hukum seperti oknum aparat penegak hukum, maka masyarakat akan menilai secara pragmatis-ekonomis, misalnya merumuskan dan membumikan sikap "lebih baik melanggar hukum dengan perolehan besar, sementara resiko sanksinya kecil (summier) daripada melanggar hukum dengan perolehan kecil, sementara resiko sanksi yuridisnya besar".

Oleh karena itu, selain akan menjadi preseden publik yang potensial melahirkan kompetisi diantara anggota masyarakat dalam membiasakan melakukan atau memproduk pelanggaran hukum, preseden itu juga bisa membuka ruang bagi lahirnya dan merebaknya praktik kekerasan semacam budaya main hakim sendiri (eigenrichting), yang menempatkan aparat peradilan sebagai obyek kekerasan oleh masyarakat pencari keadilan yang pernah disakiti, dilukai, dan merasa dikorbankan (dibohongi) oleh berlakunya anomali sistem hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun