Mohon tunggu...
Abdul syakur
Abdul syakur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis tiada henti, atau mati.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati Layakkah bagi Predator Pemerkosaan

21 Mei 2022   19:03 Diperbarui: 6 Agustus 2022   00:06 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kolase foto Luthfy Syahban/detikcom dan Dok. Humas Polres Cilacap. Edit pribadi

Baru-baru ini, berita dihebohkan oleh seseorang pelaku kejahatan pemerkosaan. Berinisial HW, pemilik dan pengasuh sebuah lembaga pesantren, akhirnya divonis mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat. Terbukti telah melakukan tindak pidana perkosaan kepada tiga belas santriwati, diantara empat korbannya bahkan telah melahirkan delapan bayi. Tak hanya itu, bahkan salah satu korban ternyata sepupu dari istrinya sendiri. Terbukti dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum bahwa pelaku mengiming- imingi korban dengan janji -- janji menjadi, Polwan, Pengurus Pesantren dan dibiayai kuliahnya. Namun, dalam persidangan sebelumnya, dengan mempertimbangkan agar tidak mencederai hak asasi pelaku, hukuman bagi pelaku hanya seumur hidup. Tetapi, dari perspektif hak asasi korban, akan mengecewakan banyak pihak yang menginginkan agar terdakwa dihukum seberat-beratnya. Selayaknya divonis hukuman mati.

Vonis pengadilan negeri selain membuat ambigu masyarakat dalam memutus perkara, disisi lain, dengan viralnya berita menjadi dorongan juga bagi hakim, sehingga terlihat seperti memihak tanpa berdasarkan pada hukum pidana semata. Padahal dalam putusannya, majlis hakim pengadilan negeri menegaskan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai Pasal 81 Ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) juncto Pasal 76D Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak jo Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana sebagaimana dakwaan primer. Lalu majlis hakim memutus terdakwa penjara seumur hidup, walaupun Jaksa mengira hukuman seumur hidup terlalu ringan, Jaksa kemudia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.

Hakim Pengadilan Tinggi akhirnya memperbaiki sejumlah putusan Pengadilan Negeri Bandung, hingga PT mengabulkan sepenuhnya banding oleh jaksa penuntut umum.

Rangkaian aturan perundang --undangan terkait tindak pidana  jelas bahwa pemerkosaan tindakannya bagian dari pelanggaran hukum apalagi kasus Herry wirawan tergolong pelanggaran berat dan pantas di hukum mati dengan dalil memberikan efek jera bagi predator seksual. Namun apabila dirasa berfikir secara logis bahwa hukuman mati tidak akan memberikan efek jera bagi predator seksual yang hanya divonis sekali tembak langsung mati. Tanpa mencederai psikologis dan mental terlebih dulu. Bahkan lebih berat mengefek jerakan pelaku dengan hukuman kurungan seumur hidup sekaligus dikebiri kimia.

Hukuman penjara seumur hidup sekaligus kebiri kimia sangatlah pantas juga bagi hakim menjatuhkan putusan. Pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain kepada pelaku yang melakukan kekerasan atau mengancam kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Walaupun kebiri kimia tidak dapat diberikan kepada pelaku terpidana hukuman seumur hidup atau hukuman mati dikarenakan "setelah terpidana menjalani pidana pokok".

Penjatuhan hukuman mati sangatlah tidak berprikemanusiaan bertentangan dengan norma - norma pancasila dan UUD 1945. Pengambilan hak untuk hidup yang dijamin dalam Pasal 28a dan Pasal 281 UUD 1945 yang mempertimbangkan hak untuk hidup serta berhak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Bahkan putusan hukuman mati tindak pidana pemerkosaan bekas pemilik pesantren, Harry wirawan sampai detik ini belum ditentukan kapan akan dilaksanakan eksekusi mati. Sedangkan dalam catatanya Institute for Criminal Justice Reform, per November 2021 jumlah terpidana mati naik 13%, ada sekitar 355 terpidana mati yang masuk deret tunggu eksekusi. Sehingga, vonis mati bagi Harry belum otomatis menjadi akhir dalam hidupnya. Selain antre tindakan eksekusi, masih ada upaya hukum ataupun upaya hukum luar biasa untuk tahap selanjutnya, yakni Kasasi dan Peninjauan kembali. Walaupun pelaku tidak puas dengan hasil upaya hukum, konstitusi masih membuka ruang abolisi, amnesti dan grasi.

Pentingnya juga perlindungan khusus terhadap korban yang masih dibawah umur dalam pemeriksaan psikologis jasmani dan rohani ya yang mulai mentalitasnya melemah di kalangan publik. Sehingga juga perlu pihak yang mempunyai wewenang untuk melindungi mengembalikan lagi hak hak hidup para korban sebagaimana seperti halnya manusia normal lainnya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun