Sungguh berbeda lebaran tahun ini. Sejak berakhirnya puasa, gema takbir hanya ada di ruang keluarga. Semarak takbir keliling hilang. Kesyahduan hadir di tengah-tengah keluarga.
Setelah sholat ied di rumah, tidak ada lagi tetangga saling sapa. Kami hanya disibukkan untuk membalas dan menghapus pesan yang masuk lewat WA. Bahkan ucapan lebaran dari teman dan tetangga tidak ada yang istimewa. Isinya sama. Kalimatnya sama. Dan pernak-perniknya juga sama.
Kehadiran Covid-19 menyisakan pesan mendalam. Makna ibadah tidak terletak pada gebyarnya, namun pada hakikatnya. Kita selama ini terlena pada festival, perayaan, dan hiruk pikuk ibadah semata. Melupakan hakikat ibadah sebenarnya.
Umat manusia memasuki lanskap baru dalam beribadah. Kita diajak untuk menyelami samudera kesadaran. Betapapun manusia membanggakan diri dengan pengetahuan dan teknologi, ternyata ada batasan-batasan yang tidak dapat dijangkaunya.
Dalam kesunyian dan keterbatasan seharusnya kita semakin melakukan instropeksi diri. Bahwa relasi sosial antar manusia harus dilakukan secara jujur dan murni. Ikatan kemanusiaan harus ditempatkan pada posisi terhormat. Tidak lagi dalam sekat-sekat sempit hanya untuk kepentingan diri dan kelompok.
Bangsa ini sudah waktunya memasuki lebaran yang sebenarnya. Tidak lagi saling serang komentar. Pemerintah berlaku adil dan jujur. Rakyat berlaku sesuai dengan hukum dan aturan. Para ulama dan tokoh agama memberi kekuatan dengan doa. Para cerdik pandai memberikan sumbangsih ilmunya. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh sesama bangsa harus sama-sama diringankan.
Lebaran minimalis yang dihadapi oleh bangsa ini tidak akan menghilangkan makna lebaran. Kesunyian lebaran kali ini semoga mengantarkan kita pada kesucian yang fitri.Â
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah. Mohon Maaf Lahir dan Batin