Aku merenung di halaman depan rumah. Lalu muncul sekelumit keluh kesah, "Kenapa setiap ketemu teman selalu bersalaman? Padahal setiap hari juga ketemu." Aku sembari menggaruk-garuk kepala.
Memang, itu adalah pertanyaan aneh yang tidak menghasilkan receh. Namun ada satu yang membuatku tergelitik, lantaran asal-usul selalu menarik untuk ditilik. Pasti ada akar fenomena yang akan terkulik.
Bila ditilik dari sorot pandang budaya, Indonesia dahulu adalah kumpulan kerajaan-kerajaan. Imajinasiku tentang kerajaan adalah tahta dan kasta. Si jelata akan membungkuk kepada sang pemilik tahta sebagai simbol tegur sapa.
Lalu malam hari tiba, kebetulan aku ada jadwal ngopi (ngolah pikiran) bersama lima teman dan seorang Guru (spiritual).
Setelah selesai mengkaji pelajaran, salah satu temanku, Topik, mengajukan persoalan dalam forum pertanyaan. "Bang, kenapa kalau sehabis shalat, kita dituntut untuk berjabat tangan? Apa hukumnya, sih?"
Sang Guru yang biasa kami panggil Bang menjawab. "Jadi, itu ada haditsnya, riwayat Abu Dawud. Kalau ada hadits, maka hukumnya sunnah."
"Diriwayatkan dari al-Barra' dari Azib r.a. Rasulallah s.a.w. bersabda, 'Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa-dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum berpisah'."
"Itu dalil dasar yang dinukil oleh para ulama untuk menganjurkan menjabat tangan setelah shalat, Pik," lanjut beliau.
"Kalo selain setelah shalat gimana, Bang?" Aku menyela.
"Malah lebih bagus." Beliau menjawab tegas.
"Ketemu temen kampus, jabat tangan. Ketemu temen tongkrongan, jabat tangan. Selama ngumpul, kalo itu konteksnya perkumpulan yang baik dan bermanfaat, usahain jabat tangan dulu. Lumayan, ngegugurin dosa sampe perkumpulan itu bubar," terang beliau.