"Golput adalah hak, mengajak golput adalah tindak pidana".Â
Begitu kira-kira inti penyataan dari Menkopolhukam Wiranto. Setelah MUI berfatwa bahwa haram menyatakan sikap golput, kini giliran Menkopolhukam menyatakan bahwa pengajak golput adalah pelanggar undang-undang dan bisa dikenakan pidana.Â
Golput sendiri bukan barang baru pada gelaran pemilu lima tahunan ini. Beberapa masyarakat kerap memilih untuk tidak memilih alias golput dengan alasan tertentu.
Berdasarkan data KPU (PDF), tren 'golput' sejak pemilu 1987 cenderung meningkat. Reformasi besar-besaran pada 1998 yang mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintahan demokratis juga tak berpengaruh mengurangi golput. Bahkan pada pemilu 2004, tren 'golput' meningkat tajam.
Dalam konteks ini, gue akan bongkar beberapa faktor masyarakat yang memutuskan memilih untuk tidak memilih.
Uneffectable
Prinsip ini bermakna bahwa dampak pemilu tidak dirasakan oleh masyarakat kebanyakan. Maksudnya, para pemimpin dan perwakilan rakyat yang merupakan hasil prouduk pemilu, tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat.Â
Hal itu juga didukung oleh beberapa wawancara kecil-kecilan gue terhadap beberapa orang yang memutuskan untuk golput. Salah satu jawaban mereka adalah "siapapun presidennya, tetep gak bakal ngaruh buat hidup lu. Mending tidur, nikmatin libur pemilu"
Menurut gue, jawaban ini adalah jawaban segmen masyarakat kelas menengah kebawah. Karena mereka (masyarakat kelas menengah kebawah) tidak merasa berkepentingan mengurusi hal-hal yang bersifat makro. Karena yang terpenting bagi mereka adalah mencari nafkah agar dapat menghidupi keluarga.
Money Politic