M
inggu-minggu sekarang kita selalu disuguhi dengan pemberitaaan korupsi yang menghebohkan. Entah karena jika kasus ini terbongkar maka langit Indonesia runtuh atau media saja yang terlalu berlebihan. Terlepas dari itu semua, korupsi di Indonesia memang sudah keterlaluan. Terakhir, sampai memasuki ranah yang sakral. Yang dulu tidak berani diungkap dan tidak pernah tersentuh. Korupsi menggurita di penyelenggara negara.
Seperti ulat bulu, korupsi kini bertransformasi menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa). Dia telah mewabah. Bahkan, dia tidak pandang bulu, menjalar dan menulari semua manusia. Mulai rakyat jelata sampai pejabat tinggi negara. Dari urusan kecil seperti mengurus KTP, urusan bisnis, hingga urusan kelas kakap seperti penentuan Kursi Dewan yang terhormat. Praktek suap-menyuap, per-koneksian, dan gratifikasi terjadi di mana-mana. Tiada hari tanpa korupsi, tiada hari tanpa pemberitaan tentang korupsi.
Lalu benarkah korupsi di Negara kita sudah menjadi satu budaya? Meminjam definisi dariEdgard H. Schein, bahwa budaya dipahami sebagai asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya.
Definisi di atas bisa dimengerti seperti pada saat peristiwa contek massal di SDN 2 Gadel, Surabaya. Dari sana kita mengetahui bahwa menyontek sudah menjadi budaya, budaya nyontek. Nyontek (oleh karena sebab tertentu) disepakati secara kumulatif oleh warga sebagai tindakan yang benar. Sehingga pada saat ada salah satu anggota masyarakat yang memberitahukan peristiwa nyontek itu, maka dalam masyarakat tersebut, dia salah. Dia harus dikucilkan, diprotes dan ditolak dari kumpulan warga sekitar.
Jika menurut definisi di atas maka kita patut cemas dan mulai memikirkan bagaimana memutus rantai penularan korupsi yang ber-budaya ini. Kita semua tentu tahu dan mengalami sendiri. Dalam kehidupan di negara ini, kalau tidak melakukan praktek korupsi sepertinya sulit sekali hidup. Jika korupsi telah bermetamorfosa menjadi budaya, maka jelas pemberantasannya tidak cukup hanya dengan menggunakan satu perspektif.
Maka alangkah baiknya jika tindakan pencegahan korupsi seyogyanya tidak dilakukan dalam ranah hukum saja. Dalam wilayah budaya misalnya. Karena cuma dari sisi ini kita bisa mengenali budaya tersebut. Kemudian merencanakan satu strategi budaya guna memupuskan korupsi. Di dalam budaya pun terdapat pelbagai hal, diantaranya adalah agama dan pendidikan. Dalam bidang agama kita perlu dan mendesak untuk merumuskan teologi anti-korupsi. Di bidang pendidikan, kita perlu menumbuhkan kesadaran akan bahaya korupsi bagi kelangsungan berbangsa.
Mengapa Korupsi?
Manusia adalah makhluk yang teramat mulia. Dia tidak seperti makhluk lain. Manusia diberkati dengan akal dan hati. Malah dalam teologi, manusia lebih tinggi derajatnya dari malaikat. Manusia juga diberkati dengan rasa penasaran dan tidak pernah puas. Watak dasar inilah yang menyebabkan manusia terus berkembang, berubah dan tidak pernah berdiri dalam satu titik kebudayaan yang sama.
Meskipun demikian, rasa tidak cepat puas ini amat berbahaya jika tidak ada yang mengendalikan. Sistem kendali menjadi sangat penting. Karena pada hakikatnya, meminjam istilah John Locke (1632), manusia adalah srigala. Yang siap menerkam mangsa demi memuaskan hasrat perutnya.
Tidak cepat puas juga bisa saja dan sering bermutasi menjadi sikap hedonis. Sikap hedonis ini menjadi satu budaya saat sikap ini mendesak, mau tidak mau harus dilakukan. Dalam istilah Van Peursen, tindak budaya awalnya adalah tindakan mempertahankan hidup. Hedonisme bukan hanya menginginkan hidup secara sederhana, asal hidup saja. Lebih dari itu, hidup bergelimangan harta. Berpenampilan rupawan, walaupun operasi plastik. Berpakaian sesuai mode. Bergaya dengan trend terbaru. Makan makanan yang ber-merk. Dan lain sebagainya. Kebutuhan yang tersier, sekunder berubah menjadi primer.
Korupsi sebenarnya tidak berasal dari mana-mana. Melainkan berasal dari pribadi masing-masing orang. Yang menganggap bahwa korupsi adalah keharusan dalam mempertahankan hidup. Dan yang menganggap bahwa kehidupan yang bahagia adalah yang menumpuk harta dan memperkaya diri. Dalam keadaan yang serba hedonis tersebut, korupsi dan praktek kecurangan lainnya muncul sebagai kemutlakan hidup. Akhirnyakorupsi menjadi budaya. Budaya mempertahankan eksistensi diri di tengah dunia yang serba masih merasa kekurangan. Bagaimanapun bentuknya, budaya pada awalnya adalah sebuah fenomena manusia. Lalu bagaimana fenomena manusia ini bisa dijelaskan?
Sigmund Freud, pencetus psikoanalisa, menjelaskan fenomena manusia ini dengan berdasarkan pada tiga komponen: Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga kompenen ini ada dalam diri setiap manusia. Id adalah aspek kepribadian yang sadar sepenuhnya. Id adalah satu-satunya bawaan sejak lahir. Id adalah watak binatang dalam diri manusia. Id hanya berprinsip kepada kesenangan dan kebutuhan yang harus diwujudkan segera. Kebutuhan dan keinginan untuk menumpuk harta tak lain adalah perwujudan dari id. Baik koruptor maupun bukan koruptor, semuanya memiliki watak seperti ini.
Menjadi koruptor atau tidaknya seseorang dipengaruhi oleh ego. Ego berprinsip pada realitas, apakah keinginan id untuk menumpuk harta memungkinkan atau tidak. Keinginan dari id biasanya akan ditunda oleh ego, jika waktu dan tempat serta kondisi belum memungkinkan. Tetapi jika kondisi memungkinkan maka keinginan id akan diluluskan oleh ego.
Sistem hukum dan administrasi negara yang lemah memungkinkan bagi manusia untuk melakukan korupsi. Dorongan id dari dalam dirinya akan memperoleh persetujuan dari ego. Dalam sistem yang longgar, ego melihat bahwa permintaan dan keinginan id bisa direalisasikan. Para koruptor yang berpendidikan tentunya sudah mengetahui di mana kelemahan sistem-sistem tersebut. Sehingga banyak koruptor yang terlepas dari jaring hukum, dihukum ringan, kabur ke luar negeri, bahkan banyak yang tak tersentuh sama sekali.
Aspek ketiga, kepribadian, superego adalah yang menampung semua standar internalisasi moral dari masyarakat. Superego memberikan pedoman tentang nilai. Mana yang pantas dan mana yang tidak. Di sini peran orang tua, agama dan ajaran moral masyarakat menjadi penting peranannya. Aspek ketiga ini masih ampuh di masyarakat tradisional. Akan tetapi sudah sangat mandul sebagai sistem kendali di masyarakat perkotaan.
Watak kepribadian manusia yang sedemikian rupa tersebut kemudian bergerak ke wilayah yang lebih besar. Pribadi-pribadi yang sarat dengan keinginan dan nafsu hadir serta berinteraksi dengan pribadi yang sama. Masing-masing, dengan ego-nya melihat adakah kesempatan mewujudkan keinginan primitif mereka. Kesempatan itu diantaranya akan diperoleh jika saja ada kekuasaan di tangan mereka. Maka kekuasaan pun ramai diperebutkan dengan berbagai cara. Kursi dan jabatan adalah modal untuk mewujudkan hasrat dan nafsu.
Undang-undang, lembaga pemberantasan korupsi, dan segala macam ancaman hukum pun tidak akan berhasil. Setidaknya jika tanpa kesadaran penuh dari pribadi manusia Indonesia. Bahwa Korupsi itu tidak baik dilakukan oleh manusia yang hidup beriringan dan bersama-sama sebagi satu bangsa. Karena bagaimanapun juga instrumen-instrumen hukum bisa diplintir dan dicari kelemahannya. Tapi kesadaran, tidak.
Budaya Anti-Korupsi
Sayangnya model kesadaran ini seakan-akan tidak tersedia di dunia kita sekarang ini. Tidak terdapat di dalam keseharian berbangsa dan bernegara. Tidak di wilayah bekas jajahan yang latah mengadopsi segala sesuatunya dari wilayah antah berantah. Sistem hukum dari Belanda, sistem sosial, ekonomi dan politik dari Amerika, keagamaan dari Mekah, dan lain sebagainya. Padahal kita sebagai bangsa memiliki budaya sendiri yang tak kalah luhur. Akulturasi tidaklah salah, hanya saja kita sering lupa identitas sendiri karena terlalu silau.
Tidak usah muluk-muluk dan berbelit. Dengan setiap hari di lingkungansendiri kita tidak membenarkan korupsi, tidak pernah mengajarkan dan tidak melakukaknnya. Dengan sendirinya sudah mulai membangun satu bangunan budaya luhur, anti korupsi. Hanya saja untuk menjadi budaya yang mayoritas tentu dibutuhkan penyadaran kumulatif. Dan simbol-simbol kebudayaan-lah yang paling mampu dan mungkin mewujudkan itu semua.
Budaya pun harus dimaknai kembali dan di-revitalisasi. Artefak-artefak kebudayaan harus dipaksa mengeluarkan maknanya bagi kehidupan kita sekarang. Maka kesenian pun akan terasa sangat indah dan sangat dekat dengan keseharian kita. Nyanyian akan mendendangkan kejujuran, dan tarian-tarian pun meliuk-liuk bak jiwa yang kasmaran. Merindukan kehidupan yang tanpa kecurangan. Adegan dramadalam wayang, masres, sintran, dan berokan pun melakonkan moralitas, hindari korupsi.
Tidak mambiarkannya mati, di mana budaya dipahami hanya sebagai benda. Lalu untuk apa para leluhur kita mewarisi semua benda mati itu? Yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi sisi kemanusiaan kita sehari-hari? Maka sudah saatnyalah merubah cara pandang budaya. Dari budaya statis menuju budaya yang dinamis.
Di Cirebon, ada ungkapan duit panas. Yaitu uang yang dihasilkan dari korupsi. Kalau digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, maka jiwanya akan panas serasa dibakar.Jiwa yang panas menjauhkan diri dari perasaan bahagia, selalu gelisah, dan serba tidak berkecukupan. Sifatnya sama dengan air garam. Kalau haus jangan minum air garam, karena rasa hausnya akan semakin menambah. Ada juga istilah pamali, adalh istilah umum yang digunakan sebagai larangan terhadap hal-hal yang tidak baik.
Jadi, jangan korupsi! Karena korupsi hanya akan menghasilkan kesengsaraan. Sekali melakukan korupsi, maka dia akan semakin haus (yang tidak berkesudahan) harta dan jauh sama sekali dari kebahagiaan yang diidam-idamkan. Korupsi itu pamali, memakan harta yang menjadi hak orang lain itu tidak boleh. Melakukan korupsi sama saja dengan menyakiti saudara kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI