Cerita ini saya dapatkan dari mentor saya di Kampung Inggris Pare Kediri. Dia punya 2 teman seorang yang bisa meng-hack suatu aplikasi game dari yang akun free jadi premium dari yang beli diamond pakai uang asli jadi gratis. Mereka menawarkan jasanya dengan harga kisaran 30 rb.
Singkatnya akhirnya pihak developer game ini bisa melacak lokasi hacker dan meminta bantuan polisi untuk menangkap mereka berdua (pelanggaran hak cipta termasuk delik aduan artinya, kepolisian hanya bisa mengusut kasus tersebut jika pihak pencipta atau pemegang lisensi melaporkan. UU 28/2014 tentang Hak Cipta). Akhirnya yang satu dipenjarakan karena tak mampu membayar denda dan yang lain bebas karena dari keluarga yang cukup berada sehingga mampu membayar denda sebesar 300 juta (lumayan 1 harga mobil).
Cerita ini dilatarbelakangi oleh seorang murid yang minta file tes TOEFL listening official karena suara speaker kurang jelas tapi tak diberikan mentor karena harganya mahal, dia harus beli(memesan) keluar negri dulu baru bisa mendapatkan file.
Terkait fenomena bajakan baik yang membajak, menyebarkan, ataupun menonton/memainkan sepertinya sudah menjadi kebiasaan disini. Buktinya 63 Persen Orang di RI Nonton Film Bajakan, Terbanyak IndoXXI (CNN Indonesia) & data pada 2017 menunjukkan bahwa sebesar 83 % software (game konsol, software editing, download manager, antivirus,Microsoft Windows dan Microsoft Office) yang beredar di Indonesia adalah bajakan (Business Software Alliance).Â
Banyak motif dibalik penggunaan produk bajakan, mulai dari tidak tahu, harga lisensi yang mahal, kemungkinan dipidana kecil, mendapat uang dari kegiatan tersebut hingga ikut-ikutan teman atau orang lain melakukan hal yang serupa. Bagi sebagian konsumen, mereka sadar kalau memakai produk bajakan itu dilarang/berdosa bukan karena tidak menghargai karya perusahaan/orang lain tapi karena himpitan ekonomi & desakan kebutuhan. Tampaknya budaya malu memakai produk bajakan sangat perlu ditumbuhkan meskipun sulit.