Jakarta -- Sebuah kajian terbaru yang dirilis The Institute for Ecosoc Rights memunculkan temuan mencengangkan: lebih dari satu juta warga Indonesia kehilangan nyawa sepanjang 2014--2024 akibat pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Laporan bertajuk Mati Sunyi Satu Dekade itu menyebut total korban mencapai 1.014.552 orang. Angka tersebut mencakup kematian karena wabah penyakit menular, kecelakaan kerja, buruknya layanan kesehatan ibu dan anak, perusakan lingkungan, hingga tekanan ekonomi yang berujung bunuh diri.
"Nyawa manusia, terutama warga miskin, seakan tidak lagi bernilai di era Jokowi. Negara gagal menjalankan kewajibannya untuk melindungi hak hidup rakyat," ujar peneliti utama Sri Palupi saat memaparkan hasil kajian dalam diskusi rutin Forum PRAKSIS ke-13 di Menteng, Jakarta, Jumat (26/09/2025). Kegiatan diskusi terselenggara berkat kerjasama PRAKSIS dan Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara.Â
Kematian Masif dan Negara yang Abai
Data yang dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan, tiga penyebab kematian terbesar adalah wabah penyakit menular (680.765 orang), kecelakaan kerja (246.597 orang), dan buruknya layanan kesehatan ibu dan anak (67.091 orang). Pandemi Covid-19 sendiri menyumbang 196.783 kematian atau hampir sepertiga dari total korban penyakit menular.
Jumlah kematian akibat kecelakaan kerja melonjak tajam, mencapai hampir 250 ribu jiwa dalam sembilan tahun. Faktor penyebabnya antara lain minimnya pelatihan keselamatan, kelelahan, prosedur yang diabaikan, hingga tekanan produksi berlebihan.
Sementara itu, angka kematian ibu justru meningkat pada penghujung pemerintahan Jokowi, dari 4.005 jiwa pada 2022 menjadi 4.129 jiwa pada 2023. Angka Kematian Ibu (AKI) pun naik dari 183 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup.
Kajian ini juga menyingkap fakta gelap mengenai kemiskinan. Dari total 6.815 kematian akibat krisis ekonomi, 99,8 persen di antaranya adalah bunuh diri. "Tekanan ekonomi telah membuat ribuan orang memilih mengakhiri hidupnya, dan ini hanyalah puncak gunung es. Sebagian besar kasus bahkan tidak pernah tercatat secara resmi," papar alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
Negara sebagai Pelaku
Menurut laporan, pola kematian masif ini bukan sekadar konsekuensi tak terhindarkan, melainkan buah dari kebijakan negara yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang keselamatan warga.
"Lima indikator pelanggaran HAM berat terpenuhi: pelanggaran hak hidup yang serius, jumlah korban sangat masif, terjadi berulang dalam kurun waktu panjang, berlangsung secara sistematis melalui kebijakan negara, dan tidak adanya upaya mengadili atau menghentikan praktik tersebut," tegas Sri Palupi.