Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tujuh Tahun Mengencani Kompasiana, Apa yang Didapat?

23 Oktober 2017   00:16 Diperbarui: 23 Oktober 2017   22:43 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edisi perdana Kompasiana Freez! yang memuat tulisan saya.

Tanggal 22 Oktober 2017, Kompasiana sudah berusia 9 tahun, hampir satu dasawarsa Kompasiana menjadi media platform blog bagi para netizen. Saya sendiri bergabung dengan Kompasiana sejak 12 Juli 2010, bertepatan dengan hari Koperasi (tak ada hubungannya sih antara koperasi dengan bergabungnya saya dengan Kompasiana). Berarti sudah 7 tahun saya mengencani Kompasiana. Kalau ditanya, kenapa saya bergabung dengan Kompasiana? Sejujurnya, saya terpengaruh dengan nama besar Kompas-Gramedia, dan berharap suatu saat tulisan-tulisan saya di Kompasiana ada yang melirik untuk diterbitkan.

Selama mengencani Kompasiana tentu banyak suka duka yang saya alami, seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara, tentu ada pasang surutnya. Pertama bergabung dengan Kompasiana, saya begitu bersemangat menghasilkan tulisan. Ada saja yang saya tulis, mulai dari tulisan ecek-ecek hingga yang serius dan mengernyitkan dahi. Saya menulis tentang apa saja, tak ada bidang khusus yang saya fokuskan, begitu ada ide di kepala langsung saya tuangkan. Akhirnya, tulisan-tulisan saya di Kompasiana itu mirip gado-gado, campur-campur kayak es campur, tapi masih tetap nikmat diseruput kala dahaga. 

Tapi, tak selamanya saya bersemangat untuk menulis, tiga tahun terakhir ini saya sudah jarang menulis di Kompasiana, rasa malas tentu paling dominan menyergap saya, ide-ide rasanya mampet, bahkan hingar bingar politik di tahun lalu tak membuat saya untuk kembali aktif di Kompasiana. Saya hanya jadi "Ghost Reader", hanya membaca tulisan-tulisan orang lain, tak beri komentar juga. Makanya saya sangat salut lihat teman-teman seangkatan di Kompasiana yang masih tetap konsisten berkarya dan melahirkan tulisan-tulisan yang makin berkualitas. Namun, meski tak terlalu aktif, ajang Kompasianival setiap tahun selalu saya hadiri. Saya berharap, dengan hadir di acara tahunan itu, ikatan batin dan hasrat saya terhadap Kompasiana tetap terjaga dan bisa terbangun kembali. 

Selama tujuh tahun mengencani Kompasiana, tentu ada cerita dan pengalaman yang berkesan dan saya rasakan hingga sekarang, serta susah untuk dilupakan, apalagi dibuang. Terlalu munafik kalau saya bilang tak punya cerita selama bergabung di Kompasiana. Cerita dan pengalaman itu mungkin tak terlalu menarik bagi orang tapi bagi saya seperti tonggak sejarah atau bahasa kerennya milestone bagi hidup saya, wuih mantap. 

Ketika itu, Kompasiana untuk pertama kalinya menerbitkan Kompasiana versi cetak yang bernama Kompasiana Freez! Dalam edisi perdana Kompasiana Freez! itu tanpa diduga nongol tulisan saya yang berjudul "Jauh di Mata Dekat di Facebook". Jangan ditanya ya bagaimana perasaan saya waktu itu, seperti terbang ke langit ke tujuh (meski belum pernah ngerasain langit ke tujuh itu seperti apa). Senangnya pakai banget, top markotop kata anak sekarang, cettar membahana kata Syahrini. Tingkat kepedean saya langsung naik drastis saat itu juga. Bagi saya, tulisan yang dimuat dalam bentuk cetak merupakan bentuk pengakuan pemilik media atas kualitas suatu tulisan. 

Namun sebelumnya, tulisan saya yang berjudul "Es Lengkong, Minuman Khas Orang Medan di Bulan Puasa" pernah juga dimuat di halaman Klasika Kompas. Kemudian ada dua tulisan lagi yang pernah dimuat kembali oleh Kompasiana Freez! Sejak itu, menulis di Kompasiana makin buat saya semangat dan makin percaya diri.

Tak hanya dimuat di Kompasiana Freez! Tiga tulisan saya di Kompasiana juga pernah terpilih menjadi bagian dari buku yang berjudul "Jelajah Negeri Sendiri" yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Buku ini berisi kumpulan tulisan-tulisan para Kompasianer tentang perjalanan di penjuru Indonesia.

Buku Jelajah Negeri Sendiri yang memuat tulisan-tulisan para Kompasianer tentang perjalanan ke berbagai wilayah Indonesia.
Buku Jelajah Negeri Sendiri yang memuat tulisan-tulisan para Kompasianer tentang perjalanan ke berbagai wilayah Indonesia.
Akhirnya, ada juga yang melirik tulisan saya untuk diterbitkan meski hanya dalam bentuk buku kumpulan tulisan, begitu pikir saya. Walau hanya dalam buku kumpulan tulisan tapi hati senang. "No problemo", kata orang sono, tak masalahlah. Yang penting, tulisan yang saya tulis itu sudah mendapat apresiasi dari orang lain atau pihak lain. 

Ada juga pengalaman lain yang tak bisa saya lupakan selama mengencani Kompasiana. Sebenarnya tak terlalu penting juga diungkapkan. Cuma, karena cerita ini bagian dari pengalaman yang tak terlupakan mau tak mau perlu saya ceritakan juga. Waktu itu, pas acara Kompasianival pertama di tahun 2011 (atau 2010? lupa saya) yang diselenggarakan di Plaza FX Jakarta. Di akhir acara, entah bermimpi apa semalamnya, saya dapat hadiah doorprize berupa iPad 2, senangnya minta ampun. Apalagi hadiah itu paling diidamkan setiap pengunjung, kebayangkan senangnya kayak apa.

Bergabung dengan Kompasiana memang tak ada ruginya, bahkan sangat bermanfaat bagi seorang penulis maupun calon penulis, baik yang amatiran maupun yang sudah pro. Mental kita juga dilatih untuk sabar dan tabah, terutama menghadapi hujatan, kritikan, maupun cemoohan orang-orang saat menanggapi tulisan kita. Bagian ini yang bisa buat seorang penulis menjadi "down" atau patah semangat. Tapi ambil positifnya saja, karena makin banyak yang menanggapi tulisan kita berarti tulisan kita sangat menarik untuk didiskusikan. Jumlah pembaca juga pasti akan meningkat tajam, apalagi kalau bisa menjaring pembaca sampai ribuan gara-gara dikomentari banyak orang, hebat kan. 

Salah satu kebanggaan seorang penulis (terutama di Kompasiana) adalah banyaknya jumlah pembaca yang membaca tulisan kita. Saya saja akan merasa sedih kalau yang baca tulisan saya hanya puluhan orang, sepertinya tulisan saya tidak menarik minat orang. Tapi kalau jumlah yang baca sampai ribuan, senangnya bukan main meski ada yang menghujat atau mencemooh. Saya bahkan tak peduli apa kata mereka, yang penting mereka tahu dan paham isi kepala saya. Kalaupun ada yang menghujat atau mencemooh, tanggapilah dengan kesabaran, jangan terbawa atau terpancing emosi, semuanya butuh pembelajaran dan proses, tak ada yang sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun