Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biarkan Warung Makan Buka Siang di Bulan Puasa

13 Juni 2016   13:27 Diperbarui: 13 Juni 2016   15:06 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warung makan (sumber; maksindo)

Sebagai muslim, penulis sangat tidak setuju jika ada warung makan yang buka terus “diberedel” oleh Satpol PP semacam kejadian yang barusan jadi topik nasional dan mengundang “keprihatinan” para tokoh nasional seperti Wapres Jusuf Kalla, Mendagri dan pejabat-pejabat penting lainnya yang note bene pemilik stake holderNegeri Pancasila Aman Jaya Sentosa ini. Terus terang penulis lebih senang jika di bulan puasa tetap ada warung makan yang buka di siang hari.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir model yang begituan lama-lama malah bisa bikin kepala puyeng, negara Pancasila, kok Pemerintahannya bisa-bisanya membuat aturan yang terbilang “aneh-aneh”. Di Indonesia ini masyarakatnya beragam, ada yang Islam, Katolik, Pretestan, Hindu, Budha, Keperjcayaan, Kejawen, Abangan, Irengan, Putihan dan masih seabreg keyakinan yang ada. Keyakinan adalah hak pribadi masing-masing orang yang tidak bisa dipaksakan, dan rumus untuk mengatasi perbedaan itu adalah toleransi.

Pancasila (masih) dekat di mata  tapi (lama-lama) jauh di hati. So, yuk bumikan kembali Pancasila di negeri ini, dan jika itu bisa maka seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong warganya bagaimana caranya bisa membudidayakan toleransi dengan baik dan tepat sasaran, bukan dengan membuat perda, perbup atau surat edaran lah yang melarang warganya membuka warung makan di siang hari misalnya. 

Ujung-ujungnya ternyata yang terjadi adalah “kedzaliman” aparat kepada warganya sendiri yang seharusnya dilindungi dan diayomi. Kalau mau berpuasa, seharusnya seribu warung buka di depan mata pun tetap berpuasa. Tapi kalau sudah diniatu tidak berpuasa, ada dan tidak adanya warung yang buka di siang hari tentu bukan masalah, toh tetap banyak toko yang menjual makanan (roti) dan minuman yang bisa dikonsumsi setiap saat bukan?

Jadi adanya warung makan yang buka di siang hari bukan menjadi penyebab banyak orang tidak berpuasa dan atau mengganggu kekhusyu’an ibadah puasa. Bestul?? Kembali ke masalah warung makan yang buka di siang hari di bulan Puasa, penulis setuju-setuju saja bahkan sebagai seorang bapak yang memiliki anak balita di bulan puasa seperti ini justru sangat membutuhkan warung makan buka di siang hari. 

Bayangkan saja, jika menu sahur pada malam hari telah ludes disantap satu keluarga, trus pagi-pagi si balita mau sarapan kira-kira harus cari makan kemana? Nasi habis, lauk habis, sayur habis. Moso iya mau masak dadakan hanya untuk menyediakan sarapan si balita. Masih mending kalau istri lagi berhalangan (menstruasi) jadi libur puasa, bisa saja masak untuk si ibu sama si balita, tapi kalau tidak?

Nah, warung makan yang buka di siang hari (bahkan 24 jam) menjadi kebutuhan bagi penulis dan orang-orang (muslim) lainnya yang senasib dengan penulis. Ini baru dari sisi seorang balita, belum lagi dari sisi orang yang sakit, wanita yang tengah datang bulan, faktor lanjut usia dan seorang musafir (berpergian) ataupun alasan lainnya yang diperbolehkan oleh agama. 

Masa gegara yang lain tengah berpuasa, trus mereka yang sedang ada udzurharus ikut berpuasa, kan tidak harus demikian? Penulis sudah terbiasa di rumah puasa sementara istri dan si balita tidak puasa dan tetap makan saja, seribu piring makanan dengan menu terlezat pun tak perlu menjadi alasan untuk membatalkan puasa jika tidak ada udzuratau belum masuk waktunya berbuka, apalagi hanya membatalkan puasa gegara ada warung makan yang buka di siang hari bolong.

Musafir, jelas orang yang secara syar’i diperbolehkan tidak berpuasa dan menggantinya pada hari yang lain. Bayangkan saja jika dalam perjalanan yang jauh, panas, capai, masa iya mau makan harus kerepotan? Nah, warung makan yang buka di siang hari (bahkan 24 jam) tentu bisa menolong mereka. Ini baru dari sisi kebutuhan muslim yang tidak berpuasa di bulan Ramadlan karena udzursyar’i, belum lagi jika dilihat dari sudut non-muslim yang memang tidak ada kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini.

Terlebih jika dilihat dari sudut si pemilik warung makan, dengan tutup di siang hari, penghasilan mereka otomatis berkurang. So, tetap buka sajah lah warung-warung makan di siang hari, toh soal tekhnis bisa diatur, bisa buka tapi ditutup dengan satir, sehingga orang yang makan di dalam warung tidak terlihat dari luar, kalau itu memang dianggap mengganggu kekhusyuan orang-orang yang tengah berpuasa. Atau dengan cara lain apa lah yang memungkinkan toleransi tetap terjaga, kekhusyu’an orang yang berpuasa pun tetap terjaga.

Janganlah main “kasar” sama warung makan yang buka di siang hari, malu lah, kalau yang main “obrak-abrik” atau yang bikin aturan ternyata juga (jangan-jangan) tidak berpuasa. Lain di mulut, lain di hati, lain pula kalau sudah lihat nasi. (Mungkin) boleh lah menutup warung makan di siang hari, tapi kira-kira siap apa tidak pemerintah setempat memberikan kompensasi, sebut saja 3 juta sampai 5 juta selama bulan puasa, berani apa tidak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun