Pada MUSYAWARAH NASIONAL VIII MAJELIS ULAMA INDONESIA selain fatwa tentang pembuktian terbalik, MUI juga memberikan rekomendasi agar pemerintah segera menyempurnakan undang-undang dan memasukkan unsur pembuktian terbalik untuk menegakkan hukum dan mencegah maraknya tindak pidana karena kesulitan pembuktian material, pada dasarnya bila harta yang didapatkan dicurigai merupakan hasil dari tindak pidana maka beban pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa.
Tidaklama setelah itu (munas MUI pada tanggal 27 juli 2010) tepatnya pada 5 oktober 2010 pembuktian terbalik masuk kedalam undang-undang tindak pidana pencucian uang, tentu saja ini adalah sejarah baru didalam dunia hukum di Indonesia, tidak hanya pada kasus korupsi namun juga pada kasus narkotika, sangat sulit melakukan penyitaan terhadap hasil pencucian uang yang dihasilkan dari bisnis haram ini, sehingga walaupun dipenjara mereka tetap memiliki kekuatan finansial yang dapat digunakan untuk menyogok aparat hukum agar mereka leluasa didalam penjara yang mereka huni, disamping itu juga tidak ada efek jera yang dihasilkan, maklum rata-rata koruptor di Indonesia divonis dengan rentang waktu yang sangat pendek itupun belum dikurangi remisi dan keringanan lainnya, sehingga lengkaplah Indonesia disebut sebagai negara surga para koruptor.
Kembali ke TPPU, apakah tindak pidana pencucian uang memerlukan pembuktian tindak pidana asal untuk membuktikan uang yang dihasilkan berasal dari sumber yang haram ?, perdebatan panas tentang hal ini bisa kita lihat di ILC beberapa hari lalu, sayangnya ahli hukum yang berpendapat pembuktian terbalik pada tppu tidak memerlukan pembuktian tindak pidana asal tidak hadir pada acara tersebut, sebutlah Indriyanto Seno Adji, atau ganjar laksamana dua ahli hukum dari UI yang tidak mensyaratkan adanya pembuktian pidana asal untuk mengenakan undang-undang tppu pada terdakwa korupsi.
Melihat putusan pengadilan pada beberapa kasus seperti bahasyim, nampaknya hakim baik dari level pengadilan negeri sampai mahkamah agung sepakat bahwa unsur TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya, bila harta yang dimiliki tidak sesuai dengan jumlah penghasilan yang dia dapatkan maka terdakwa harus menjelaskan darimana hartanya berasal, bila tidak bisa membuktikan maka dia dianggap telah melakukan pencucian uang, kasus bahasyim misalnya walaupun dituduh hanya melakukan pemerasan sebanyak 1 milyar rupiah, namun harta yang disita berjumlah 64 milyar, karena dia tidak bisa membuktikan harta yang dimilikinya berumber dari harta halal, pengadilan tidak memutuskan pidana asal penyitaan 64 milyar hanya berlandaskan pada kecurigaan atas harta yang diperoleh tidak wajar.
Bagaimana dengan fatwa MUI ?, di dalam salah satu butir fatwa MUI tertulis
"Pada kasus hukum tertentu, seperti kasus penggelapan, korupsi dan pencucian uang (money laundring), dibolehkan penerapan asas pembuktian terbalik jika ditemukan indikasi (amarat al-hukm) tindak pidana, sehingga pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa. "
Di lihat dari sini MUI sepakat kalau ada indikasi harta yang diperoleh ada indikasi tindak pidana maka digunakan pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian untuk menolak tuduhan ada pada terdakwa, hal ini diperkuat oleh rekomendasi MUI yang menyebutkan pembuktian terbalik dapat diterapkan untuk kemaslahatan dan mencegah tindak pidana akibat kurangnya bukti yang dimiliki oleh aparat
"Pemerintah dan DPR diminta untuk merevisi beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, agar dimungkinkan adanya sistem pembuktian terbalik untuk menegakkan kemaslahatan umum dan mencegah maraknya tindak pidana akibat kesulitan pembuktian material."
Sumber Fatwa MUI:
http://ic.arsen.co.id/files/Makalah/Makalah-Seminar-Korupsi-1.docx