Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Pilihan Legislatif

28 Mei 2019   04:44 Diperbarui: 28 Mei 2019   05:01 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hidup adalah pilihan-pilihan. Pilihan politik disebabkan berbagai faktor. Karena setiap orang adalah berbeda. Juga berbeda persepsinya tentang sesuatu. 

Ketika sudah memilih, maka terkadang kita dahulukan emosi, dan nalar ditinggalkan. Perbuatan me re send data tanpa tabayyun, kadang, mendegradasi kualitas nalar kita. Di ingatan kolektif kita muncul nama nama baru sebagai opinion leader, yang entah darimana muncul. 

Orang orang yang tidak tahu Muhammadiyah, tiba-tiba muncul menjadi pakar. Menyalah-nyalahkan pimpinan Muhammadiyah. Hanya gegara pilihan politik. 

Seorang teman yang aktif di proses Pemilu bercerita. Bagaimana sebenarnya yang terjadi di lapangan. Perebutan suara ada pada para calon. Waktu penghitungan adalah arena pertempuran sesungguhnya untuk memperebutkan suara rakyat untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden. Durasi yang lama adalah ajang bagi para caleg untuk "mengawal" suara!. 

Perebutan suara terjadi konon bisa secara barbar. Jika anda seorang calon, dan tidak bisa mengawal suara itu, bisa bisa suara pilihan untuk anda dibajak oleh teman separtai, atau bahkan lintas partai. Maka ongkos politik menjadi mahal. Karena sang calon harus membiayai orang untuk mrngawal suara yang dimilikinya dari TPS sampai ke tingkat penghitungan akhir.  

Inilah yang menyebabkan ongkos politik cukup tinggi. Selain juga jadwal kampanye yang panjang, 7 bulan. Maka bagi para pendukung fanatik pilihan 01 dan 02, cukup untuk menanamkan rasa memiliki yang kuat, ditambah dengan rasionalisasi via media sosial, serta bunga-bunga penghias dari prestasi prestasi para paslon yang kadang terlalu hiperbola. Tidak cover both side.  

Bisa jadi cerita ini fiktif, hanya terjadi di negeri di atas awan. Karena setiap orang punya panggung masing-masing. Punya "battle ground" tersendiri. Dan cerita ini hanyalah katarsis dari diri yang berada di luar lingkaran politik. 

Barangkali disana sudah ada aplikasi mengawal TPS, tapi fokusnya pada Pilpreskah? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun