Kasus terbaru yang mencuat barangkali akan menjadi titik balik -- atau justru memperjelas batas retak antara kekuasaan dan kebebasan pers. Seorang wartawan mengalami pencabutan kartu identitas liputan Istana sesaat setelah menanyakan pertanyaan terkait program pemerintah kepada Presiden. Meski kartu itu kemudian dikembalikan setelah gelombang kritik dari organisasi jurnalis dan publik, langkah semacam itu meninggalkan luka kecil di ruang demokrasi kita.
Pada titik inilah kita harus bertanya: apakah kebebasan pers di Indonesia masih "aman", atau hanya berada di zona genting?
Dinamika Antara Akses dan Kontrol
Dalam sistem demokrasi ideal, akses ke sumber penting, termasuk Istana, adalah bagian dari hak wartawan --- selama mereka menjalankan tugas secara profesional dan etis. Tetapi praktik di lapangan selalu dibenturkan dengan logika kontrol: siapa yang boleh bertanya, pertanyaan apa yang dianggap "membahayakan", dan kapan aparat akan "mengatur ulang" akses.
Ketika pertanyaan yang diajukan dianggap melewati batas --- misalnya menyentuh kebijakan yang sensitif atau mengungkap potensi kegagalan --- bukan tak mungkin institusi yang menjadi objek pertanyaan memilih langkah represif. Dalam kasus ini, pertanyaan soal program pemerintah mungkin dianggap "terlalu tajam" atau "menciderai citra", sehingga dicabutnya izin liputan menjadi sinyal: "pertanyaan kritis di wilayah ini tidak ditolerir."
Biro Pers Istana pun menyatakan pencabutan adalah pada "ID khusus Istana", bukan ID pers profesinya --- sebagai semacam pembelaan bahwa langkah itu tidak mencabut kebebasan pers secara menyeluruh. Mereka juga menyatakan akan memastikan insiden serupa tidak terulang. Tapi sikap "tidak akan mengulangi" mesti diuji lewat tindakan, bukan sekadar janji.
Implikasi Demi Kebebasan Pers dan Integritas Publik
1. Efek pendingin terhadap wartawan
Keputusan mencabut ID liputan di Istana adalah alarm: "jangan tanya ini, jangan kritisi itu." Wartawan lain yang berada dalam posisi meliput bisa memilih mengurang ekstrakompleksitas pertanyaan, menghindari topik-topik sensitif, demi "aman" agar akses tidak dicabut. Akhirnya, publik yang dirugikan --- karena persoalan substantif yang penting bisa mati termarjinalkan demi kelangsungan akses.
2. Ruang publik yang timpang
Pers adalah mediator antara publik dan kekuasaan. Jika ruang tanya klausul dikecilkan --- bahkan di titik tertinggi seperti Istana --- maka publik berpotensi terbuai oleh kaidah komunikasi pemerintah semata, tanpa kontrol kritis. Jika kritik menjadi "barang berbahaya", demokrasi tak cukup sehat.