Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Muatan Pendidikan Menciptakan SDMU

22 Agustus 2019   07:30 Diperbarui: 22 Agustus 2019   07:35 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Untuk memudahkan saja, -maaf- , kosakata SDM Unggul yang sedang trending saat ini saya singkat menjadi SDMU. Cita-cita membuahkan SDMU agar Indonesia Maju, antara lain pasti harus ditopang oleh muatan pendidikan tertentu. Dalam tulisan ini, saya mengusulkan tiga muatan utama yang perlu dikembangkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari pengasuhan di masing-masing rumahtangga, PAUD, dikdas, dikmen, maupun dikti.

 Tegasnya, tiga muatan utama itu sama, meski tentu saja isi muatannya harus semakin mendalam sesuai dengan jenjangnya. Tiga muatan yang saya maksudkan ialah (1) menanamkan respek kepada apa pun dan siapa pun, (2) mengembangkan rasa percaya diri individual, serta (3) melatih ketrampilan etika dan moral. Kata kuncinya ialah menanamkan, mengembangkan, dan melatih.

Inti respek ada pada rasa hormat terhadap apa pun serta kepada siapa pun, dan ketika kita merefleksikan tentang rasa hormat ini memang harus kita akui betapa masih lemahnya rasa hormat kita terhadap apa pun dan kepada siapa pun. Contohnya, sejak di rumahtangga, ekosistem yang tercipta perihal sampah adalah "barang yang tidak berharga lagi," maka perlakukan atas sampah semena-mena, entah dibuang (sembarangan), dihindari bahkan mungkin dianggap menjinjikkan, atau betul-betul "dihinakan." 

Intinya tercipta ekosistem tidak menghargai atau menghormati sampah, dan ikutannya banyak, seperti tidak hormat kepada tukang sampah, tidak menghargai  kebersihan lingkungan, tidak memandang penting perlunya tong sampah lalu membuang sampah justru di selokan atau sungai, dsb. dst. 

Oleh karena itu, satu-satunya jalan terbaik tentang rasa hormat ini harus ditanamkan, ibaratnya menanam pohon yang menuntut setiap harinya perlu dilihat terus perkembangannya, disiram, dipupuk, dipelihara, dst. Tumbuh kembangnya rasa hormat (respek) tidak mungkin secara alamiah belaka, apalagi ada pendapat: "Ahhh nanti makin besar anak kan akan tahu dengan sendirinya." Kalau pun sudah berada di perguruan tinggi, dosen tetap wajib menanamkan rasa hormat, mahasiswa juga harus semakin tinggi kadar respeknya terhadap apa pun dan kepada siapa pun.

Dalam hal mengembangkan rasa percaya diri individual bagi setiap peserta didik atau mahasiswa, peran orangtua, guru dan dosen sangatlah menentukan. Pola asuh kita cenderung komunal baik di lingkungan rumahtangga maupun di satuan pendidikan. Di rumahtangga kecenderungan terbesar orangtua memroteksi anaknya sering sedemikian ketat/tinggi/dominan, sampai-sampai anaknya sudah di jenjang SMA pun tidak tahu caranya mencari atau naik kendaraan umum, contohnya. 

Di sekolah atau PT, model pembelajaran guru/dosen dominan klasikal, sangat kurang pendekatan individual. Cara guru bertanya cenderung mengharapkan jawaban klasikal (seolah-olah koor, bareng-bareng). 

Kapan rasa percaya diri individual seorang anak benar-benar dikembangkan? Di rumah tidak optimal karena proteksi, di sekolah pendekatannya cenderung komunal. Padahal terbentuknya SDMU sangat individual banget. Mana mungkin model-model pembelajaran komunal akan membuahkan individu-individu unggul? Padahal, rasa percaya diri pada diri masing-masing individu menuntut untuk dikembangkan secara optimum.

Etika itu ibaratnya spido meter di motor atau mobil, yang melekat pada setiap individu sebagai pengukur rasa peka individual. Oleh karena itu spido meter (etika) tidak boleh mati dalam diri setiap individu karena spido meter itulah yang akan menunjukkan kepekaan individualnya  terhadap suatu atau banyak nilai kehidupan. Individu yang tidak terlatih empati, mungkin justru akan tertawa melihat temannya (sedang) mengalami kesulitan, atau menyalahkan, menyindir, bahkan bertepuk tangan sukacita. Individu seperti itu etikanya tumpul. 

Seluruh jenjang pendidikan harus terpanggil melatih anak didiknya semakin terampil beretika. Sedang moral, ibaratnya kartu identitas yang (harusnya) dimiliki oleh setiap orang. Kehilangan identitas berarti kehilangan jatidiri, sebaliknya semakin jelas identitas dirinya harusnya semakin respek kepada apa pun dan terhadap siapa pun. Itulah SDMU yang kita cita-citakan.

Simpulannya, mari kita serius melahirkan SDMU Indonesia sebanyak mungkin dengan mengarusutamakan penanaman rasa hormat (respek), pengembangan rasa percaya diri individual setiap insan, dan melatih terus etika moral.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun