Tukiman Tarunasayoga (JC Tukiman Taruna)
Pengajar pascasarjana MK Community Development
Dalam bahasa Jawa ada ungkapan "Jago kate, wanine cedhak omahe." Â Terjemahan lurusnya, ayam jantan kate hanya berani (bertarung) kalau dekat kandangnya. Maksudnya, bertarung jauh dari kandangnya tidak berani, kalau pun berani pasti keok.Â
Beberapa cabang olahraga yang sering dipertandingkan secara internasional, ditengarai seperti itu dalam arti atlet kita lebih banyak kalahnya disbanding dengan kemenangan yang diperoleh. Lalu, lontaran ketidakpuasan yang muncul ialah: "Ah..... dasar jago kate, jago kandang; kalau tandang banyak keoknya.
Menghadapi fakta semacam ini, analisis yang sering muncul menyebutkan betapa mentalitas kita cenderung "sudah kalah sebelum bertanding," atau minder, atau tidak berani bersaing, dsb. Intinya, ketika berhadapan dengan "pihak lain" kita cenderung ciut nyali entah karena mungkin merasa kalah postur, takut diajak omong bahasa asing (Inggris), kalah ketrampilan, kurang percaya diri, dan lain-lain alasan.
Mental "jago kandang" harus kita lihat sebagai hambatan utama (terbesar) ketika kita membahanakan SDM Unggul saat ini. Faktanya memang ada/terjadi; dan sebagai salahsatu bukti nyata  ialah wacana "rektor asing" yang ditanggapi secara kontra dengan macam-macam ungkapan yang intinya takut terusik zona nyamannya sebagai jago kandang.Â
Tegasnya, mental "jago kandang" sudah dinikmati sebagai zona nyaman oleh siapa pun, oleh karena itu tantangan lewat wacana "berani bersaing dengan asing" tidak dilihat sebagai keniscayaan, melainkan justru dilihat sebagai ancaman.Â
Sekurang-kurangnya,  tiba-tiba banyak pihak saat ini  merasa "terancam" dengan adanya wacana "SDM Unggul,"dan reaksi lebih lanjut kita lihat perkembangannya di hari-hari mendatang ini.
Mengapa "bottom line" jago kandang rasa-rasanya masih subur hidup dalam sebagian besar anggota masyarakat kita dewasa ini? Salahsatu jawabannya ialah dalam banyak aspek kita tidak terlatih untuk berkompetisi secara fair, regular, dan linier. Kompetisi  masih sering dianggap persaingan individual yang tidak sehat, menakutkan, dan karena itu sebaiknya dihindari.Â
Padahal, semakin kompetisi itu terjadi secara fair, regular, dan linier di mana-mana; secara individual orang akan semakin berkembang rasa percaya dirinya untuk maju dan berani menghadapi tantangan.
Zona nyaman jago kandang dapat dikikis sesegera mungkin lewat penerapan remunerasi yang semakin ketat indikator pencapaiannya maupun aspek sanksinya untuk semua orang.Â