Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

SDM Unggul Vs Jago Kandang

20 Agustus 2019   07:24 Diperbarui: 20 Agustus 2019   07:26 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tukiman Tarunasayoga (JC Tukiman Taruna)

Pengajar pascasarjana MK Community Development

Dalam bahasa Jawa ada ungkapan "Jago kate, wanine cedhak omahe."  Terjemahan lurusnya, ayam jantan kate hanya berani (bertarung) kalau dekat kandangnya. Maksudnya, bertarung jauh dari kandangnya tidak berani, kalau pun berani pasti keok. 

Beberapa cabang olahraga yang sering dipertandingkan secara internasional, ditengarai seperti itu dalam arti atlet kita lebih banyak kalahnya disbanding dengan kemenangan yang diperoleh. Lalu, lontaran ketidakpuasan yang muncul ialah: "Ah..... dasar jago kate, jago kandang; kalau tandang banyak keoknya.

Menghadapi fakta semacam ini, analisis yang sering muncul menyebutkan betapa mentalitas kita cenderung "sudah kalah sebelum bertanding," atau minder, atau tidak berani bersaing, dsb. Intinya, ketika berhadapan dengan "pihak lain" kita cenderung ciut nyali entah karena mungkin merasa kalah postur, takut diajak omong bahasa asing (Inggris), kalah ketrampilan, kurang percaya diri, dan lain-lain alasan.

Mental "jago kandang" harus kita lihat sebagai hambatan utama (terbesar) ketika kita membahanakan SDM Unggul saat ini. Faktanya memang ada/terjadi; dan sebagai salahsatu bukti nyata  ialah wacana "rektor asing" yang ditanggapi secara kontra dengan macam-macam ungkapan yang intinya takut terusik zona nyamannya sebagai jago kandang. 

Tegasnya, mental "jago kandang" sudah dinikmati sebagai zona nyaman oleh siapa pun, oleh karena itu tantangan lewat wacana "berani bersaing dengan asing" tidak dilihat sebagai keniscayaan, melainkan justru dilihat sebagai ancaman. 

Sekurang-kurangnya,  tiba-tiba banyak pihak saat ini  merasa "terancam" dengan adanya wacana "SDM Unggul,"dan reaksi lebih lanjut kita lihat perkembangannya di hari-hari mendatang ini.

Mengapa "bottom line" jago kandang rasa-rasanya masih subur hidup dalam sebagian besar anggota masyarakat kita dewasa ini? Salahsatu jawabannya ialah dalam banyak aspek kita tidak terlatih untuk berkompetisi secara fair, regular, dan linier. Kompetisi  masih sering dianggap persaingan individual yang tidak sehat, menakutkan, dan karena itu sebaiknya dihindari. 

Padahal, semakin kompetisi itu terjadi secara fair, regular, dan linier di mana-mana; secara individual orang akan semakin berkembang rasa percaya dirinya untuk maju dan berani menghadapi tantangan.

Zona nyaman jago kandang dapat dikikis sesegera mungkin lewat penerapan remunerasi yang semakin ketat indikator pencapaiannya maupun aspek sanksinya untuk semua orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun